Created by: Intan Ekaverta
Gaffa kecil dengan tubuh kurusnya setengah berlari menerobos keramaian pasar, menyelip diantara orang-orang dewasa. Sesekali ia menoleh ke belakang, melirik pria tambun berkepala botak yang sedari tadi mengikutinya.
Braaakkk....
“Oh Tuhan! Apa yang dilakukan gadis kecil ini?” histeris seorang wanita gemuk ketika Gaffa tanpa sengaja menabrak sebuah keranjang dan menumpahkan berkilo-kilo jeruk.
Ingin sekali Gaffa berhenti sejenak, meminta maaf dan membantu wanita itu mengumpulkan jeruk yang berserakan. Namun jiwanya diliputi rasa cemas. Pria tambun itu tak jua berhenti dari langkahnya, membuat Gaffa melupakan sopan santun.
Dan...
“Sial!” keluh Gaffa. Ia telah keluar dari kerumunan pasar. Orang-orang tidak ramai lagi. Di hadapannya kini terpapar hamparan luas gurun pasir yang diselingi pepohonan kurma. Ia sempatkan sedikit menoleh ke belakang, pria tambun itu masih mengikutinya. Tanpa pikir panjang Gaffa kembali memacu kakinya, berlari sekencang yang ia mampu menjauhi pasar.
Napasnya mulai terengah-engah, cukup jauh sudah ia berlari dari pasar. Gaffa mencoba melirik ke belakang, pria tambun itu tak begitu jauh dibelakangnya.
“Tidak!” gumam Gaffa. Ia mempercepat larinya. Dadanya sudah semakin sesak. Samasekali ia belum pernah melihat pria tambun itu sebelumnya dan tidak tahu apa-apa akan alasan pria itu mengejarnya.
Yang Gaffa tahu saat ini ia harus terus berlari dan berlari hingga langkahnya terhenti di depan sebuah tebing tinggi yang membatasi lereng desanya dengan desa sebelah. Tidak mungkin ia bisa memanjat curam tebing itu tanpa bantuan apapun. Hatinya mulai pasrah walau otaknya tetap bekerja mencari celah.
“Berhentilah Gaffa!” teriak pria tambun itu.
“Dia tahu namaku.” Benak Gaffa. Ia berbalik, sementara napasnya tak lagi beraturan. Pria tambun itu kini tepat berdiri dihadapannya tanpa sesak sedikitpun seperti yang Gaffa rasakan.
Selangkah dua langkah, Gaffa mundur perlahan, semakin mendesak ke arah tebing. Hingga pada langkah kelima tebing itu benar-benar telah menempel dipunggunya.
“Hahahaha...” Tawa pria tambun itu menggema pada bebatuan tebing.
Gaffa kini hanya bisa menatap pria itu pasrah, ia pun tak tahu kemana lagi harus berlari. Sementara dadanya yang terasa penuh membuatnya tak lagi mampu untuk sekedar berteriak.
“Kau tak akan bisa lari lagi. Hahaha...” tawa pria tambun itu semakin kuat. Dari belitan kain pada kaki kanannya pria itu mengeluarkan sebilah pisau. Lalu perlahan pria itu maju mendekati Gaffa sehingga Gaffa dapat melihat jelas dua mata garang pria tambun itu. “Tunggu!” titah Gaffa.
“Apa lagi anak dungu?” tanya pria tambun itu kasar tanpa sama sekali menurunkan mata pisaunya.
“Sebelum kau membunuhku, kumohon ijinkan aku berdo’a!” pinta Gaffa tegas. Hatinya benar-benar telah diliputi rasa takut, namun ia tak ingin sosok tambun itu tahu ketakutannya.
Gaffa merogoh sakunya, dari sana dikeluarkannya sebuah batu emerald, hadiah pemberian almarhumah ibunya pada ulang tahunnya yang kesepuluh. Sambil menenangkan diri digenggamnya batu emerald itu penuh harap. Matanya yang lelah mulai dipejamkan erat. Dalam hati ia mencoba bicara pada ibunya, memohon untuk memberinya sedikit terang agar ia bisa mengakali pria tambun didepannya ini.
***
Fanny menekan kuat penanya membuahkan tanda titik diakhir paragraf cerita tentang Gaffa. Matanya yang berjam-jam terpaku pada kertas kini mulai menyusuri seisi kamar. Pena hitam yang lama digenggamnya mulai diputar-putar pada sela jemarinya.
Ia kehabisan ide. Ia tak tahu lagi harus menuliskan apa pada cerita tentang Gaffa. Haruskah Gaffa benar-benar dibunuh oleh pria tambun itu? Atau lebih menarikkah jika ibu Gaffa memberikan kekuatan rohnya sehingga sesuatu yang ajaib terjadi sehingga Gaffa selamat dari cengkraman Pria tambun itu?
“Haaah...” keluh Fanny. Ia berdiri meluruskan pegal punggunya. Pena hitam itu masih diputar-putar ditangannya sembari berjalan menuju jendela kamar yang menghadap ke jalan setapak dibelakang kamarnya. Dari sana ia bisa melihat hijaunya pepohonan jeruk, bagian kecil dari perkebunan kakeknya yang ranum. Matanya terasa segar, penatnya sejenak hilang.
Beberapa menit berlalu, tiba-tiba sesuatu memecah lamunannya. Fanny terkesiap, ada seseorang yang lewat di jalan setapak itu, seseorang yang tidak diketahuinya, tapi dikenalnya dengan jelas. Seseorang yang beberapa saat lalu ditulisnya sebagai tokoh antagonis dalam ceritanya. Ya, pria tambun itu. Pria berkepala botak dan mata garang, dengan sebilah pisau bersarang pada belitan kain di kaki kanannya.
Masih antara percaya dan tidak, segelintir rasa takut tibamulai merasuki Fanny. Dalam cerita yang ditulisnya, pria tambun itu adalah sosok yang sangat kejam. Pikirannya semakin tak karuan, berbagai bayangan bergelayutan dipikirannya.
Tok... tok.. tok...
Sebuah ketukan kasar melayang di pintu rumahnya. Suara itu terdengar begitu seram, apalagi Fanny seketika menyadari ia sedang sendirian di rumah. Tanpa dapat berpikir lagi Fanny mengunci engsel pintu kamarnya lalu duduk meringkuk di kasurnya, bersender takut ke sudut dinding.
Tok... tok... tok...
Ketukan kasar itu terdengar lagi, kali ini semakin kuat.
Fanny semakin takut, ingin rasanya ia memanjat keluar dari jendela kamarnya. Namun kakinya seketika menjadi kaku, tidak bisa digerakkan lagi.
Gdubraaak...
“Tidak...” bisik Fanny pada dirinya sendiri.
Pintu rumahnya telah didobrak. Kini langkah kaki pria tambun itu menelusuri ruangan rumah, terus masuk dan... Gdubraak....
Kini pintu kamar Fanny didobrak keras.
“Hahahahha.....” Pria tambun itu tertawa keras penuh kemenangan menemukan Fanny yang ketakutan.
Sementara Fanny terbelalak heran, tokoh yang digambarkannya dalam cerita Gaffa kini nyata berdiri dihadapannya. Sebilah pisau di belitan kain pada kaki kanan pria tambun itupun telah tergenggam erat ditangannya. Sebilah mata pisau menantang dua mata Fanny yang ketakutan.
Fanny mencoba tenang dan berpikir keras. Mungkinkah ini semua ada hubungannya dengan rencana Fanny membunuh tokoh Gaffa dalam cerita itu? Ia melirik pada pena yang tadi diputar-putarnya, pena yang tintanya telah menorehkan cerita yang nyata.
“Tunggu!” titah Fanny, mencoba meningat kalimat yang diucapkan Gaffa dalam ceritanya.
“Apa lagi anak dungu?” tanya pria tambun itu kasar tanpa sama sekali menurunkan mata pisaunya.
“Sebelum kau membunuhku, kumohon ijinkan aku berdo’a!” pinta Fanny tegas. Hatinya benar-benar telah diliputi rasa takut, namun ia tak ingin sosok tambun itu tahu lebih jauh akan ketakutannya.
Fanny mulai menggenggam erat penanya. Ia berharap kertas tempat ia menuliskan cerita kini ada dihadapannya. Namun apa daya, kertas itu jauh dimeja. Ia mulai memejamkan mata. Dalam hati, ia seolah-olah berbicara pada pena itu, menyuruhnya untuk menuliskan keselamatan Gaffa dan keselamatannya.
***
Hannah menekankan jemarinya pada meja membuat bunyi krek yang menghilangkan pegal tangannya. Entah sudah berapa lama ia mengetik, cerpennya tentang pria tambun yang muncul dalam kisah Fanny kini hampir selesai. Namun Hannah bingung, ending apa yang bagus sebagai penutup dari cerpen tak masuk akalnya ini.
Sejenak ia berpikir untuk membuat sosok Gaffa mati dan begitu juga Fanny. Namun sejenak lagi ia berpikir untuk membuat sosok Gaffa hidup dan Fanny mati. Ia mulai jenuh memikirkannya ketika ia memutuskan untuk keluar kamar, sekedar mengambil segelas orange juice di dalam kulkas.
Namun sungguh aneh, matanya terbelalak kaget begitu ia membuka pintu kamar. Seseorang telah berdiri disana. Ya, sosok pria tambun yang diciptakannya sebagai tokoh dalam cerpennya. Pria botak bermata garang.
Hannah mulai takut, ia mundur beberapa langkah kembali memasuki kamarnya sementara pria tambun didepannya juga maju perlahan dengan pisau yang kini telah ada dalam genggamannya.
“Astaghfirullahal’azhim, Tidak mungkin.” Benak Hannah nyaris tak percaya pada apa yang dilihatnya. Ini kejadian yang sama dengan dua kejadian pada cerpennya. Tak dapat dipercaya.
“Hahahaha....” pria tambun itu mulai tertawa keras.
Hannah terus mundur dan mundur hingga punggungnya menempel pada dinding kamar. Ia diliputi takut dan kebingungan. Bagaimana mungkin cerpennya yang hanya fiktif dapat menjadi kenyataan. Perlahan, ia mencoba mengingat bait akhir dari cerpen itu, bait yang juga diulang Fanny dari cerita Gaffa.
“Tunggu!” titah Hannah.
“Apa lagi anak dungu?” tanya pria tambun itu kasar tanpa sama sekali menurunkan mata pisaunya.
“Sebelum kau membunuhku, kumohon ijinkan aku berdo’a!” pinta Hannah tegas.
Untuk sejenak, Hannah benar-benar dibuat semakin bingung. Sungguh menyedihkan, jika Gaffa menggenggam batu emeraldnya dan Fanny menggenggam penanya, maka ia tidak sedang menggenggam benda apapun. Namun berusaha untuk tetap berpikir jernih hingga ia sadar bahwa bukan benda-benda itu yang akan menyelamatkan nyawanya. Bukan batu emerald ataupun pena yang berkuasa atas dirinya dan segala kisah tak masuk akal ini. Tapi Allah. Ya, Allah, Tuhan semesta alam, yang menciptakan, menjaga, menghidupkan, dan mematikan.
Hannah mulai menutup matanya, menengadahkan dua tangannya yang kosong penuh harap, “Hasbunallahu wa ni’mal wakil...” kemudian dari bibirnya terlantun ayat kursi serta dzkir-dzikir lainnya. Ia meminta keselamatan hanya pada Allah dan memasrahkan diri. Jika memang harus mati ia berharap Allah menerima segala amal baiknya.
Selesai sudah Hanna berdo’a, kini ia mulai membuka matanya, namun terasa berat. Begitu matanya terbuka, keadaan telah berubah. Ia tidak sedang berdiri terdesak pada dinding dan di depannya tidak ada sosok pria tambun itu melainkan sedang duduk di kursi belajarnya dengan laptop terpampang di atas meja. Kepalanya terangkat berat dari punggung tangan yang barusan menjadi bantalnya. Seketika ia menguap.
“Astaghfirullahal’azhim, aku baru saja ketiduran.” Ujarnya heran. Ia hampir tak percaya bahwa apa yang barusan dialaminya adalah sebuah mimpi. Namun badannya terasa begitu segar, seakan-akan ia menempuh puncak nyenyaknya tidur yang dalam.
Hanna meregangkan otot-ototnya sejanak, kemudian matanya kembali fokus pada layar laptopnya, sebuah halaman microsof office dengan paragraf-paragraf kisah tentang Gaffa, Fanny, dan pria tambun yang dibuatnya sebelum tertidur pulas masih menunggu diselesaikan. Ada sedikit heran dihatinya, mimpi tadi terasa begitu nyata. Namun ia hanya menggeleng dan kembali mengetik, melanjutkan kisah Fanny yang telah menari-nari dalam sudut inspirasinya.
***