Siapa yang tak kenal merk "Honda", produsen motor terbesar di dunia. Tak hanya motor, perusahaan ini juga memproduksi mesin pembakaran, mobil, robot, bahkan pesawat. Honda sendiri berdiri sejak 24 September 1948 dan terus berdikari hingga menjadi perusahaan besar seperti saat ini.
Lantas, tahukah kita tentang bagaimana jatuh bangun Si Pembuat Honda? Ya, dialah Soichiro Honda, bisa dibilang anak kampung. Sejak usia mudanya Soichiro sudah tergila-gila pada mesin. Untuk memahami mesin apa saja akan dia lakukan.
Setelah dewasa, Soichiro bekerja di sebuah perusahaan bernama Hart Sokai Company. Awalnya ia hanya seorang teknisi. Namun dengan semangatnya yang tinggi, ia berhasil menjadi pimpinan cabang setelah enam tahun bekerja. Disinilah Honda menemukan penemuan pertamanya yang kemudian laku keras di seluruh belahan dunia, yakni ruji-ruji logam. Sebelumnya, mobil menggunakan ruji-ruji dari kayu. Dibandingkan dengan ruji-ruji kayu, ruji-ruji logam lebih ampuh menahan goncangan ketika mobil melaju.
Soichiro sendiri mempunyai sebuah mimpi yang besar. Ia ingin memiliki pabrik sendiri. Jadilah ditengah tingginya jabatannya sebagai pimpinan cabang, ia mundurkan diri dari perusahaan.
Untuk mewujudkan mimpinya tersebut, Soichiro mulai membuat ring piston. Ide ring piston ini berasal dari percobaan yang pernah dibuatnya di bengkelnya beberapa tahun lalu. Setelah menyelesaikan ring pistonnya, Soichiro kemudian mencoba menjual ring piston tersebut ke perusahaan-perusahaan lain, termasuk Toyota. Namun tak satupun mau membelinya. Ring piston tersebut dianggap tidak memenuhi standar.
Soichiro pun terancam bangkrut. Untuk sebuah kegagalan, itu terlalu besar. Padahal ia telah merelakan jabatannya untuk menggapai sebuah mimpi. Namun apa daya mimpi tersebut kini hancur berantakan. Akhirnya, Soichiro sakit parah.
Setelah berbulan-bulan, Soichiro sembuh dari penyakitnya. Lantas, apakah Soichiro trauma terhadap dunia permesinan? Apakah dengan begitu saja Soichiro melupakan mimpi besarnya? Apakah Soichiro putus asa terhadap ring postonnya? Tidak, ia malah memilih untuk kuliah, menambah ilmunya dalam dunia permesinan. Setelah itu ia kembali berjibaku dengan ring pistonnya. Ia memperbaikinya lagi dan lagi. Dan akhirnya, segenap usahanya menghasilkan ring piston yang terbaik.
Toyota yang dulu menolak membeli ring piston tersebut, kini mengubah haluan. Oleh Toyota, Soichiro langsung dikontrak dan desainnya diterima. Soichiro kemudian bangkit lagi untuk meraih mimpinya, membuat pabrik sendiri.
Soichiro mencoba meminjam dana dari negara untuk membuat pabriknya. Namun alangkah malangnya, ia hidup pada zaman dimana perang dunia kedua dimulai. Pemerintah Jepang saat itu mengalokasikan semua dana untuk persiapan perang. Akhirnya Soichiro kehilangan kesempatan.
Namun lagi-lagi, Soichiro bukan sosok yang begitu saja menyerah. Ia mengumpulkan orang-orang yang ingin mendirikan pabrik dan mengumpulkan modal dari orang-orang tersebut. Hingga akhirnya ia berhasil mendirikan pabrik yang ia cita-citakan.
Tak berhenti disana kemalangan Soichiro. Musibah tak disangka-sangka datangnya. Pabrik yang jatuh bangun didirikan oleh Soichiro terbakar. Bukan sekali, tapi dua kali. Namun Soichiro masih juga belum putus asa. Ia memerintahkan karyawannya mengumpulkan sisa kaleng bensol yang dibuang kapal perang Amerika Serikat untuk mendirikan kembali pabriknya. Tidak lama pabriknya berdiri kembali, lagi-lagi musibah datang. Kali ini gempa bumi meuluhlantakkan pabriknya.
Soichiro kemudian benar-benar bangkrut. Ia masih mecari celah, namun tak ada jalan yang terbuka untuknya. Satu-satunya cara adalah menjual pabriknya pada Toyota. Didukung krisis ekonomi akibat dampak peperangan, Soichiro jatuh miskin. Bahkan untuk makan keluarganya saja, Soichiro kesulitan.
Tapi sebelum mati, belum pula hilang jiwa mesin Soichiro. Ia kemudian bermain-main dengan sepeda. Ia menoba memberi mesin pada sepeda tersebut yang kemudian dikenal dengan 'sepeda motor'. Desain sepeda motor inilah yang kemudian menarik seluruh dunia untuk kembali melirik Soichiro. Permintaan akan sepeda motor terus berdatangan. Soichiro akhirnya menghabiskan masa hidupnya dengan kesejahteraan. Bahkan kematiannya, tidak turut mematikan namanya, Honda.
Cobaan, bagaimanapun sulitnya itu, pasti akan silih berganti menyantroni kehidupan kita. Mematahkan hati kita, melelahkan persendian kita, dan menguras otak kita. Terlepas dari apa agama yang dianut oleh Soichiro tersebut, harusnya disinilah umat muslim berkaca. Bukan hanya pada Soichiro yang kisah pantang menyerahnya melegenda, tapi juga para Nabi dan Rasul yang segenap kehidupannya dipakai untuk mengajak manusia lain dalam kebaikan. Bukan satu atau dua halang rintang yang mendatangi Nabi dan Rasul kita dalam mencapai tujuannya, tapi puluhan. Mereka disiksa, dibakar hidup-hidup, dicampakkan ke laut. Namun bangkit lagi dan bangkit lagi. Tentunya kita juga pernah mendengar kisah tentang Sumayyah yang mempertahankan keimanannya hingga akhir hayatnya.
Dalam sebuah hadits yang diriwaykan oleh Baihaqi, ''Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bekerja dan menekuni pekerjaannya.''
Bukankah bahkan dalam amar ma'ruf nahi munkar ditegaskan pula bahwa jika kita tidak sanggup mengubah dengan tangan maka kita harus mengubahnya dengan lisan. Jika masih tidak sanggup dengan lisan, maka diubah dengan hati. Begitulah sejatinya sebuah usaha. Jika usaha besar kita gagal bukan berarti kita boleh berputus asa. Tapi cari jalan lagi, cari lagi, hingga kita menemukan jalan kesuksesan. Salah besar jika seseorang menutup mimpinya hanya karena goncangan kuat yang ia alami. Karena pada firman-Nya, Ia telah menjanjikan, setelah kesulitan akan ada kemudahan.
*Kisah hidup Soichiro Honda disadur dari buku 'Jiwa-jiwa Gagah yang Pntang Menyerah' karya AA. Mukhlis
*Kisah hidup Soichiro Honda disadur dari buku 'Jiwa-jiwa Gagah yang Pntang Menyerah' karya AA. Mukhlis
0 komentar:
Posting Komentar