Idealis dan pragmatis, dua kata yang tidak asing lagi di telinga kita. Idealis sendiri cendrung dihubungkan dengan sikap teguh terhadap suatu pedoman sementara yang di luar itu dikesampingkan. Orang yang idealis cendrung membagi kehidupan dalam dua hal, hitam dan putih. Jika tidak hitam maka putih dan jika tidak putih maka hitam. Dan orang yang idealis akan berjalan sepanjang jalan yang putih "menurut pedoman yang dianutnya".
Sementara orang yang pragmatis, bisa jadi juga memiliki pedoman, namun melihatnya dengan tiga warna, hitam, putih, dan abu-abu. Untuk mencapai tujuannya ia bisa saja mengganti haluan tiba-tiba, sesuai keadaan mana yang paling cocok baginya. Orang yang terlalu pragmatis bisa jadi terjerumus dalam menghalalkan segala cara untuk mencapai cita-citanya. Pragmatis sendiri berarti praktis dalam menjunjung kebermanfaatan, bukan nilai-nilai. Jadi bisa saja ia bergeser ke hitam ketika hitam itu jauh lebih bisa dirasakan manfaatnya baginya.
Idealis dan pragmatis cendrung kita anggap berlawanan. Padahal, kalau ditilik lagi keduanya bukanlah dua sikap yang bertentangan. Bukan berarti idealis itu positif dan pragmatis itu negatif atau sebaliknya. Sebenarnya antara idealis dan pragmatis sendiri ada sisi baik dan buruknya masing-masing. Berlebihan dalam ideologi idealis atau pragmatis tidak pula bagus untuk kehidupan.
Lantas, bagaimana dengan menjadi umat beragama? Haruskah kita menyikapi agama dengan idealis atau pragmatis?
Orang yang beragama secara idealis, akan menjunjung tinggi prinsip-prinsip agama dalam kehidupannya. Sekali lagi, hitam atau putih. Jika agamanya mengajarkan hitam maka hitam jika putih maka putih. Dalam Islam, hukum dipedomani dari qur'an dan hadist. Maka ia akan saklek dalam menerima hukum tersebut. Ia akan bersikap "jijik" pada dosa-dosa. Menjalankan kehidupan benar-benar digaris putih menurut qur'an dan hadist. Jika haram maka haram jika halal maka halal. Bahkan yang mubah bisa ditafsirkan wajib dan yang makruh ditafsirkan haram. Hanya ada satu jalan baginya, jalan putih, jalan yang shahih tanpa syarat.
Lalu, ada lagi orang yang dalam beragama menyikapinya secara pragmatis. Open minded, katanya. Qur'an dan hadist yang dijadikan pedoman ditafsirkan dengan pemikiran personal. Jika suatu hukum dirasa manfaatnya dalam hidup, diikuti, namun jika tidak, dikesampingkan. Praktis sekali. Ia bisa saja berjalan di jalan putih, namun ketika lingkungan tak mendukung ia akan bergeser ke sisi hitam. Sebagai contoh orang yang rajin beribadah, namun karena baginya menjadi gaul dan fashionista lebih dirasa kebermanfaatannya, ia akan meninggalkan perintah berjilbab, walaupun shalat wajib tidak pernah tinggal. Atau ia akan menghalalkan bersalaman dengan lawan jenis karena baginya itu tidak membuat rangsangan mendekati zina. Dalam menyikapi permasalahan agama ia tidak mendahulukan pedoman, namun pemikiran, apa yang dirasanya benar dan apa yang dirasanya salah. Benar salah baginya adalah yang paling sesuai dengan keadaannya.
Haruskah kita menjadi idealis atau pragmatis dalam beragama?
Pada prinsipnya agama yang kita anut adalah agama Tuhan. Agama dibuat oleh Tuhan dan hukum-hukumnya adalah buatan Tuhan. Maka karena itu kita perlu bersikap idealis. Karena pemikiran manusia tak dapat melewati batas-batas Tuhan. Halal tetap akan jadi halal dan haram tetap akan jadi haram. Bagaimanapun kondisinya, jika melakukan perbuatan yang diharamkan, akan berdosa.
Namun zaman yang terus berkembang, lingkungan yang berubah, adat yang berbeda, membuat kita perlu bersikap pragmatis. Tentunya kita juga perlu menyesuaikan diri karena jelas, ini bukan lagi zaman Nabi. Banyak sekali perbedaan antara zaman ini dengan zaman Nabi. Maka karena itu untuk sukses kita perlu open minded, membuka cakrawala kita lebih luas dan lebih luas lagi.
Nah, bingung kan?
Tapi ada lagi satu hal yang penting, yang sering dilupakan oleh perdebatan-perdebatan terkait idealis dan pragmatis. Yaitu, PROFESIONAL. Inilah yang harusnya kita anut dalam menjalankan kehidupan yang agamis. Ya, profesional dalam beragama. Disini kita mencampurkan sisi positif dari idealis dan sisi positif dari pragmatis serta membuang sisi negatifnya. Sebagai kaum agamis yang profesional, kita berjalan di jalan putih untuk mengejar akhirat, menerapkan dengan baik hukum yang haram dan yang halal. Menerima agama dengan hati, bukan dengan akal, serta menjalankan perintah dan larangannya. Yang haq adalah haq dan yang bathil adalah bathil. Namun juga profesional dalam menjalankan kehidupan dunia. Kita membuka pikiran terhadap lingkungan yang bervariasi, menerima perbedaan, dan mampu menyesuaikan diri. Kemajuan-kemajuan teknologi bukan berarti haram, namun kita manfaatkan kebergunaannya. Begitu juga dengan perubahan-perubahan lain pada zaman ini yang membuat perbedaan dengan zaman nabi.
Bukankah dalam Islam itu sendiri bukan hanya halal dan haram saja yang ada, tapi juga ada mubah dan makruh? Ini membuktikan agama bukan hanya diwarnai oleh hitam dan putih saja, namun beragam. Agama begitu luas cakupannya. Bahkan kita perlu memahami fiqh prioritas dalam bertindak serta menerapkan kemoderatan. Jika kita tetap kekeuh untuk bersikap saklek, maka kita akan tertinggal. Sekali lagi, zaman telah berkembang, maka kita juga harus mengikuti perkembangannya. Namun, dalam mengikuti perkembangan itu, kita perlu untuk tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip kita, pada hukum-hukum Tuhan yang memiliki segenap jiwa raga kita. Karena kalau tidak begitu, siap-siap saja menghadapi murka.
Mohon maaf jika yang membaca tulisan ini akan kebingungan. Tidak lebih dan tidak kurang ini adalah murni opini penulis, boleh disetujui boleh tidak. Penulis hanya mengajak agar kita tidak saklek dalam menjalankan agama sehingga malah didiskriditkan oleh orang-orang modern. Tapi juga penulis mengajak agar kita tidak seenak hati dalam menjalankan perintah dan larangan Allah. Agama ini agama Allah, bukan agama kita. Yang membuat hukumnya Allah bukan kita. Karena itu akal bukanlah yang utama dan pertama dalam beragama, tapi keyakinan adalah yang paling penting. Dalam beragama bukan berarti kita melakukan inginnya kita dan tidak inginnya kita. Tapi inginnya Allah dan tidak inginnya Allah.
Semoga kita bukan orang berlebihan dalam mengideologikan idealis dan pragmatis. Namun menjadi kaum agamis yang profesional, sukses dunia akhirat!
0 komentar:
Posting Komentar