Dalam sebuah hadist riwayat Tirmidzi disebutkan, "Keridhaan Allah adalah pada keridhaan orang tua, dan kemurkaan-Nya adalah pada kemurkaan orang tua." Bahkan dalam hadist lainnya yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim, disebutkan bahwa amal yang paling dicintai Allah adalah shalat pada waktunya, berbakti pada kedua orang tua, dan jihad di jalan Allah. Bukan jarang pula kita mendengar hadist yang menceritakan terkait pemuda yang hendak berjihad atau berhijrah, namun Rasullah menyuruhnya untuk terlebih dahulu berbakti kepada kedua orang tua mereka. Begitulah pentingnya orang tua dalam Islam. Bahkan restunya menjadi restu Allah pula. Tentunya selama tidak melanggar aturan-Nya.
Kali ini saya ingin menceritakan hal paling krusial dalam hidup saya yang bersangkutan dengan restu orang tua. Cerita dimulai dari cerita yang diceritakan ibu saya, terkait masa lalunya, diamana ia ingin sekali kuliah di Fakultas Kedokteran. Ia mencoba tes bahkan sampai tiga kali. Namun, ibunya ibu saya, tidak ridho kalau ibu saya jadi mahasiswa kedokteran karena saat itu ibu saya telah kuliah pula di jurusan Teknik Elektro UNP. Ibunya ibu saya bahkan sampai mendoakan agar ibu saya tidak lulus. Dan pada akhirnya, ibu saya memang tidak lulus bagaimanapun kuatnya ia berusaha.
Itu cerita ibu saya. Kali ini cerita saya, malah kebalikannya. Jujur, waktu SD dulu, kalau ditanya cita-citanya ingin jadi apa, saya akan langsung menjawab, "Dokterrrrrrrr........". Namun, setelah akhir masa SD, dimana saya mulai hobi mengisi mading sekolah dengan puisi dan cerpen buatan saya, saya kemudian menemukan sebuah cita-cita, yakni menjadi penulis. Dan itulah cita-cita pertama yang saya miliki, yang ketika saya memikirkannya, ada perasaan 'ingin' dihati saya untuk mewujudkannya. Bukan seperti cita-cita dokter yang asal sebut ikut-ikutan orang tapi tidak paham maknanya.
Begitu terus, hingga menduduki bangku SMP, keinginan untuk jadi penulis tak jua luntur. Bahkan saya kerap menulis cerpen-cerpen dalam satu buku, yang kemudian dipinjam oleh teman-teman saya untuk dibaca. Begitu juga saat SMA, saya mulai mencoba mengirimkan cerpen-cerpen saya ke koran lokal. Dan alhamdulillah, beberapa kali dimuat.
Saat SMA, saya dibelikan laptop untuk pertama kalinya oleh orang tua saya. Disanalah saya mulai mengenal desain grafis. Sekali mencoba saya tertarik dan semakin lama semakin tertarik. Ditunjang oleh kesukaan saya melihat-lihat foto desain rumah serta menggambarnya di kertas, saya kemudian berkeinginan untuk menjadi seorang arsitek.
Disamping keinginan saya sendiri, orang tua saya juga memiliki keinginan mereka terhadap saya. Mereka tidak pernah memaksakannya pada saya, namun, ada satu hal yang kerap saya ingat. Setiap jalan-jalan ke Padang dan melewati gedung Fakultas Kedokteran Unand, maka ayah saya akan berujar, "Ini tempat kuliah Intan besok." Hal itu diungkapkan ayah sejak saya masih SMP. Ibu saya juga sering mengungkapkan pada saya betapa ia ingin ada dari anak-anaknya yang nanti menjadi dokter. Saya juga tidak tahu, tapi mungkin dalam sujud-sujud mereka, mereka meminta pada Allah agar saya menjadi dokter atau bagaimana, yang jelas saya sekarang sedang kuliah di Fakultas Kedokteran Unand. Tempat yang diiming-imingi ayah saya sejak saya SMP. Dan ajaibnya lagi, kuliah di FK juga tidak sepenuhnya keinginan saya. Karena dalam SNMPTN, saya memilih jurusan yang berhubungan dengan teknik.
Begitulah, ketika lulus SMA, sama sekali tidak terbesit dihati saya untuk menjadi dokter. Namun setelah setahun kuliah di sebuah universitas di Bandung, dengan jurusan Sistem Informasi, saya malah merasa tidak puas dengan jurusan tersebut. Entah mengapa kemudian tiba-tiba saya mengambil jurusan lain, yaitu Pendidikan Dokter, padahal dihati yang terbayang itu adalah Teknik Arsitektur. Bahkan sampai saat ini saya masih suka melihat-lihat gambar dekorasi rumah. T_T
Disinilah saya merasa diri saya membingungkan. Saya sendiri sampai saat ini belum yakin saya akan menjadi dokter yang baik karena empati saya yang nyaris tidak ada kepada orang lain. Tapi disinilah kemudian Allah menetapkan takdir saya, di tempat yang diidam-idamkan kedua orang tua saya.
Aah, saya bahkan masih ingat ketika pengumuman kelulusan saya dalam jalur mandiri di jurusan Pendidikan Dokter ini. Saya bahkan melihatnya tanpa ada perasaan luar biasa. Hanya berujar alhamdulillah, tanpa ada kesenangan berarti, kemudian dengan biasa-biasa saja saya menunjukkannya pada orang tua saya. Namun diluar dugaan, orang tua saya malah langsung heboh, bahkan ibu dan ayah saya menangis haru sambil berpelukan. Saya bengong sendiri melihatnya. Dan ketika kemudian mereka memeluk saya, barulah saya merasakan bahwa itu adalah hal yang sangat besar buat mereka. Dan melihat mereka dalam keadaan sangat bahagia seperti itu, saya kemudian ikut bahagia.
Disinilah point-nya saya merasakan kebahagiaan yang tak terkira. Bukan ketika saya lulus, tapi ketika melihat orang tua saya menatap saya dengan tatapan bahagia. Dan itulah yang paling utama yang saya kejar disini. Saya ingin suatu saat nanti saya kembali melihat tatapan itu. Tatapan lega penuh harap yang terburai dengan cinta. Tatapan yang apabila mengingatnya membuat saya ingin bertahan lebih lama dan lebih lama lagi.
Kini saya terus meresapi bahwa saya telah dewasa. Bukan lagi remaja galau yang sibuk meminta keinginannya dituruti. Kedua orang tua sayalah yang telah mendewasakan saya. Maka gelar dokter yang saya usahakan adalah hadiah untuk mereka. Saya tidak pernah merasa terpaksa, karena toh mereka tak pernah memaksakan saya untuk memilih jurusan ini. Semua ini murni Allah yang menggerakkan tangan saya. Mungkin juga do'a kedua orang tua sayalah yang membuat Allah kemudian meluluskan saya dijurusan ini, bukan Teknik Arsitektur. Untuk itu, saya akan tetap mengusahakan yang terbaik, untuk Allah, untuk kedua orang tua saya, dan untuk masa depan saya.
Kali ini saya ingin menceritakan hal paling krusial dalam hidup saya yang bersangkutan dengan restu orang tua. Cerita dimulai dari cerita yang diceritakan ibu saya, terkait masa lalunya, diamana ia ingin sekali kuliah di Fakultas Kedokteran. Ia mencoba tes bahkan sampai tiga kali. Namun, ibunya ibu saya, tidak ridho kalau ibu saya jadi mahasiswa kedokteran karena saat itu ibu saya telah kuliah pula di jurusan Teknik Elektro UNP. Ibunya ibu saya bahkan sampai mendoakan agar ibu saya tidak lulus. Dan pada akhirnya, ibu saya memang tidak lulus bagaimanapun kuatnya ia berusaha.
Itu cerita ibu saya. Kali ini cerita saya, malah kebalikannya. Jujur, waktu SD dulu, kalau ditanya cita-citanya ingin jadi apa, saya akan langsung menjawab, "Dokterrrrrrrr........". Namun, setelah akhir masa SD, dimana saya mulai hobi mengisi mading sekolah dengan puisi dan cerpen buatan saya, saya kemudian menemukan sebuah cita-cita, yakni menjadi penulis. Dan itulah cita-cita pertama yang saya miliki, yang ketika saya memikirkannya, ada perasaan 'ingin' dihati saya untuk mewujudkannya. Bukan seperti cita-cita dokter yang asal sebut ikut-ikutan orang tapi tidak paham maknanya.
Begitu terus, hingga menduduki bangku SMP, keinginan untuk jadi penulis tak jua luntur. Bahkan saya kerap menulis cerpen-cerpen dalam satu buku, yang kemudian dipinjam oleh teman-teman saya untuk dibaca. Begitu juga saat SMA, saya mulai mencoba mengirimkan cerpen-cerpen saya ke koran lokal. Dan alhamdulillah, beberapa kali dimuat.
Saat SMA, saya dibelikan laptop untuk pertama kalinya oleh orang tua saya. Disanalah saya mulai mengenal desain grafis. Sekali mencoba saya tertarik dan semakin lama semakin tertarik. Ditunjang oleh kesukaan saya melihat-lihat foto desain rumah serta menggambarnya di kertas, saya kemudian berkeinginan untuk menjadi seorang arsitek.
Disamping keinginan saya sendiri, orang tua saya juga memiliki keinginan mereka terhadap saya. Mereka tidak pernah memaksakannya pada saya, namun, ada satu hal yang kerap saya ingat. Setiap jalan-jalan ke Padang dan melewati gedung Fakultas Kedokteran Unand, maka ayah saya akan berujar, "Ini tempat kuliah Intan besok." Hal itu diungkapkan ayah sejak saya masih SMP. Ibu saya juga sering mengungkapkan pada saya betapa ia ingin ada dari anak-anaknya yang nanti menjadi dokter. Saya juga tidak tahu, tapi mungkin dalam sujud-sujud mereka, mereka meminta pada Allah agar saya menjadi dokter atau bagaimana, yang jelas saya sekarang sedang kuliah di Fakultas Kedokteran Unand. Tempat yang diiming-imingi ayah saya sejak saya SMP. Dan ajaibnya lagi, kuliah di FK juga tidak sepenuhnya keinginan saya. Karena dalam SNMPTN, saya memilih jurusan yang berhubungan dengan teknik.
Begitulah, ketika lulus SMA, sama sekali tidak terbesit dihati saya untuk menjadi dokter. Namun setelah setahun kuliah di sebuah universitas di Bandung, dengan jurusan Sistem Informasi, saya malah merasa tidak puas dengan jurusan tersebut. Entah mengapa kemudian tiba-tiba saya mengambil jurusan lain, yaitu Pendidikan Dokter, padahal dihati yang terbayang itu adalah Teknik Arsitektur. Bahkan sampai saat ini saya masih suka melihat-lihat gambar dekorasi rumah. T_T
Disinilah saya merasa diri saya membingungkan. Saya sendiri sampai saat ini belum yakin saya akan menjadi dokter yang baik karena empati saya yang nyaris tidak ada kepada orang lain. Tapi disinilah kemudian Allah menetapkan takdir saya, di tempat yang diidam-idamkan kedua orang tua saya.
Aah, saya bahkan masih ingat ketika pengumuman kelulusan saya dalam jalur mandiri di jurusan Pendidikan Dokter ini. Saya bahkan melihatnya tanpa ada perasaan luar biasa. Hanya berujar alhamdulillah, tanpa ada kesenangan berarti, kemudian dengan biasa-biasa saja saya menunjukkannya pada orang tua saya. Namun diluar dugaan, orang tua saya malah langsung heboh, bahkan ibu dan ayah saya menangis haru sambil berpelukan. Saya bengong sendiri melihatnya. Dan ketika kemudian mereka memeluk saya, barulah saya merasakan bahwa itu adalah hal yang sangat besar buat mereka. Dan melihat mereka dalam keadaan sangat bahagia seperti itu, saya kemudian ikut bahagia.
Disinilah point-nya saya merasakan kebahagiaan yang tak terkira. Bukan ketika saya lulus, tapi ketika melihat orang tua saya menatap saya dengan tatapan bahagia. Dan itulah yang paling utama yang saya kejar disini. Saya ingin suatu saat nanti saya kembali melihat tatapan itu. Tatapan lega penuh harap yang terburai dengan cinta. Tatapan yang apabila mengingatnya membuat saya ingin bertahan lebih lama dan lebih lama lagi.
Kini saya terus meresapi bahwa saya telah dewasa. Bukan lagi remaja galau yang sibuk meminta keinginannya dituruti. Kedua orang tua sayalah yang telah mendewasakan saya. Maka gelar dokter yang saya usahakan adalah hadiah untuk mereka. Saya tidak pernah merasa terpaksa, karena toh mereka tak pernah memaksakan saya untuk memilih jurusan ini. Semua ini murni Allah yang menggerakkan tangan saya. Mungkin juga do'a kedua orang tua sayalah yang membuat Allah kemudian meluluskan saya dijurusan ini, bukan Teknik Arsitektur. Untuk itu, saya akan tetap mengusahakan yang terbaik, untuk Allah, untuk kedua orang tua saya, dan untuk masa depan saya.
0 komentar:
Posting Komentar