Sekali lagi menguap, ya, menguap. Masih dengan sedikit nyawa aku perlahan duduk bangun dari tidur panjangku. Kulihat arah ventilasi, sinar mentari berebut masuk memanasi lantai kamarku.
Aah, sudah siang.
Aku pun berdiri, menghampiri jendela dan membuka tirainya. Silau cahaya menerpa mataku hingga mengejap ngilu. Segera kututup lagi. Kukucek-kucek mataku.
Setengah jam kemudian, aku telah selesai mandi dan berpakaian. Sebelum itu, aku perlu sarapan pagi. Kusuap sesendok dua sendok nasi, berlaukkan ikan goreng.
Selesai makan, HP berdering. Kuangkat, telpon dari orangtuaku di kampung. Alangkah senangnya mendapati pujian-pujian manis, karena sampai detik ini akulah satu-satunya anak mereka yang berhasil kuliah ke kota, dari enam bersaudara. empat kakakku tak hendak melanjutkan sekolah, SMA saja kacau. Tinggallah adikku, Si Bungsu, yang masih menjalani masa SMA. Itupun nilai raport hampir semuanya merah.
Apalagi unggulnya diriku di kampus. Nilai ujian A, praktikum A, rajin sholat, rajin menyapa dosen, hidup teratur, belajar selalu. Apa lagi yang kurang.
Butir-butir nasipun habis, aku kemudian berdiri, menuju pintu. Perlahan, kubuka pintu dan kulangkahkan kaki keluar. Tapi, siang ini terasa berbeda. Terik mentari jauh lebih bersahabat. Pohon-pohon rindang berbaris ditepi jalan, menyapa pejalan kaki. Sejak kapan tumbuhnya? Dan aku takjub, ketika buah-buahan menjuntai dari rantingnya, bisa langsung dipetik dan dipilih sesuka hati. Satu pohon menghasilkan bermacam-macam buah. Apel, mangga, jeruk, sawo, hmmm....
Hey, aspal ini, mengapa lunak? Seperti dilapisi karpet lembut. Orang yang terhempas dari motorpun tak akan luka karenanya.
Aku berjalan lagi, berjalan dan berjalan, menuju kampus. Tiba-tiba sebuah benda melaju hampir menabrakku. Membuatku kaget setengah mati. Sekilas, kupikir itu motor. Tapi, benda itu melajang, dua jengkal diatas aspal. Tanpa asap, tanpa polusi. Mainan baru semacam apa itu. Dan selang beberapa detik kemudian, puluhan lagi benda semacam itu berseliweran. Adapula yang menyerupai mobil.
Masih kulanjutkan perjalanan, lagi-lagi aku dikagetkan oleh hal aneh. Ubin penyebrang jalan. Ya, begitulah yang kubaca di papan namanya. Orang-orang dengan santai menginjakkan kaki mereka di salah satu ubin 1 x 1 meter yang berjejer, lalu ubin itu meninggi, perlahan, membawa mereka ke sebrang jalan. Seimbang sempurna!!! Satupun tidak ada yang jatuh ke bawah.
Dengan perasaan yang bingung, masihkah aku di bumi, akhirnya sampai juga aku di gerbang kampus. Tapi pagar yang menjadi jalan masuk satu-satunya menjadi sepuluh kali lebih tinggi. Dan kali ini, tertutup. Bagaimanalah caraku bisa masuk jika begitu. Kuperhatikan orang-orang, melangkah ke pinggir gerbang, berdiri di depan sebuah layar hijau, yang dari sana keluar cahaya scanner yang membaca mata orang di depannya. Di layar, akan terpampang nama, angkatan, fakultas, dan jurusan orang tersebut. Kucoba pula, tersebutlah identitasku disana. Gerbang pun terbuka, untukku.
Aku masuk, dan kulihat semu, sebuah poster besar menyambut. Disana terpampang empat foto yang tidak asing lagi bagiku. Pertama, kakakku yang pertama, Nurijah, seorang petani. Kemudian, abangku, Soekiman, seorang kuli. Disampingnya, abangku lagi, Tresno, seorang montir bengkel kampung. Terakhir, kakak perempuan diatasku, Suhartini, seorang penjaga warnet. Disana tertulis kata-kata seminar eksklusif, berkarya untuk negri.
Apa pula ini, membuatku semakin heran dan semakin heran saja. Kuputuskan untuk mengingat dengan baik jam seminarnya, dan sepulang kuliah kuputuskan untuk mengikuti acara tersebut.
Kata demi kata kudengar, ternyata mereka berempat telah berinovasi. Mulai dari rasa peduli terhadap negri, cita-cita membangun peradaban yang lebih baik, hingga ide-ide yang dipaksakan muncul. Tak perlu nilai A sepertiku, tak perlu ijazah, cukup dengan tekad yang kuat dan keyakinan. Semangat belajar tak harus diukur dari kuliah tak kuliah. Ternyata, walau tak berkesempatan kuliah, mereka tetap giat, mendalami ilmu masing-masing, mencuri buku yang telah dibuang, dan membaca journal-journal. Dan yang terpenting adalah, keinginan untuk menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain.
Di akhir seminar, dihadirkan seorang wanita baya yang menangis haru, Ibu. Mereka berpelukan. Kemudian datang seorang anak laki-laki dengan seragam SMA naik ke panggung, ikut berpelukan.
Hatiku tiba-tiba menjadi perih. Ingin rasanya aku juga naik keatas panggung. Tapi aku telah lama tertidur. Kupikir, akulah yang hebat, paling juara. Namun aku belajar untuk diriku sendiri. Aku beramal untuk masa depanku sendiri. Sementara mereka, tak perlu embel-embel gelar, namun bergerak untuk masyarakat luas.
Aah, aku benar-benar telah lama tertidur, ternyata aku begitu kecil.
Padang, 24 November 2013
0 komentar:
Posting Komentar