Minggu, 03 November 2013

Ketika Sedikit Nikmat Dicabut dan Diganti

Catatan Unknown pada 5:29 PM
Suatu Sabtu yang cerah, setelah begadang semalaman mengerjakan beberapa amanah kecil. 

Pagi itu rencananya aku dan dua teman sekontrakanku, Alifa dan Dya, berencana mengisi pagi dengan berenang ke Azkia Swimming Pool. Namun, alangkah malangnya kami semua sama-sama tertidur pagi itu. Rencana batal. Sebagai gantinya, aku dan Dya memutuskan untuk membeli bacaan kecil di Gramedia, sementara Alifa memiliki amanah lain di kampus. Setelah menghabiskan tiga jam di Gramedia, aku menemani Dya memperbaiki gagang kacamatanya di optik. Lalu kami berpisah, Dya pulang, sementara aku pergi menghadiri acara baralek dengan beberapa orang senior di Air Tawar.

Di lokasi pesta, aku melirik sebuah makanan yang terlihat seperti ayam teriyaki. Otomatis mata rakusku langsung tertarik dan mengambil dua potong ke piring. Ternyata, itu bukan ayam! Melainkan ikan laut. Aku tak tahu pasti itu ikan apa. Sejenak aku ingat bahwa aku alergi pada tongkol. Namun karena sudah terlanjur diambil, kuputuskan untuk memakannya saja. Toh setelah satu jam kurasakan tubuhku tidak mengalami apa-apa (biasanya sejam setelah makan tongkol akan takikardi dan merah-merah). Berarti ikan yang tadi bukan tongkol. Tapi, berhubung sebelum ke gramedia aku sudah terlebih dahulu makan dengan Dya, jadinya makanan saat baraleh bersisa dan terbuang sia-sia. Kekenyagan~


Setelah pergi baralek, aku menghadiri sebuah pengajian di Jln. Khatib Sulaiman. Kemudian, aku dan teman-teman pengajian menyebarkan leaflet keagamaan di rumah-rumah warga di Air Tawar. Saat itulah aku mulai merasa badanku tidak berkompromi. Menyusuri jalan Padang di siang menjelang sore, membuat kepalaku mulai lain rasanya. Ditambah lagi aku saat itu mengenakan sepatu teplek wanita (biasanya selalu pakai sepatu kets atau sepatu karet). Jujur saja, sepatu itu sudah lima bulan lalu dibeli, tapi baru sekali ini dipakai. 

Kakiku kurang feminim agaknya sehingga setiap mengenakan sepatu teplek, akan muncul kapalan-kapalan di ujung-ujung telapak kaki. Mulailah jari-jariku terasa sakit. Ketika sholat Ashar dan membuka sepatu+kaus kaki, kulihat sudah muncul beberapa kapalan. Tapi kubiarkan saja. Setelah Ashar semakin gencar aku dan teman-teman membagikan leaflet. Namun semakin gencar pula tubuhku menjadi letih.

Akhirnya sore menjelang. Akupun duduk di kedai untuk meminum secangkir teh (yang ludes hanya dalam satu menit), kemudian menemani salah seorang teman ke Basco Grand Mall untuk melihat-lihat sepatu. Namun rasanya aku sudah tak tahan lagi. Kuajak ia pulang, dan kami pun pulang ke rumah masing-masing.

Disepanjang jalan ke kontrakan, tubuhku mulai kedinginan. Kepalaku rasanya berat sekali. Mataku berkunang-kunang, jalan di depanku seakan-akan sedang menari hawaii menyambut langkah kedatanganku. Kupercepat langkah pulang. Sesampainya di rumah segera kubaringkan tubuhku di kasur dan kutarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhku.

Alifa dan Dya yang sudah di rumah sejak tadi keheranan melihatku. Aku yang tadi pagi notabene sehar walafiat tiba-tiba menggigil dan tak berdaya (hehee...). Begitu juga senior yang sekamar denganku, Kak Rina, mulai bertanya-tanya dan mengajakku ke dokter. Alifa yang cerewat (^^v) berkali-kali memaksaku makan, minum obat, dan minum air putih. Namun aku sungguh-sungguh hanya ingin tidur. Sehingga perhatian Alifa yang tulus seolah-olah menyebalkan bagiku. (Tapi terimakasih ya, Alifa. Wkwkwk)

Sebenarnya, sejak seminggu lalu aku memang merasa sering sakit kepala dan ingin tidur. Tapi tidak sampai kedinginan seperti ini. Kalaupun meriang, tapi tidak sampai mengganggu aktivitas.

Malam pun berlalu. Tengah malam aku terbangun dan ingat akan beberapa amanah yang harus kukerjakan. Masih dingin rasanya, tapi kepalaku tidak lagi sakit. Segera kuambil laptop ke dekatku dan kukerjakan beberapa hal ringan yang kurasa aku sanggup mengerjakannya. Setelah selesai, aku tidur kembali hingga pagi.

Alangkah malangnya, setelah subuh aku kembali sakit kepala dan kedinginan. Aku kembali meringkuk dalam selimutku. Alifa berkali-kali menyuruh makan dan minum, namun rasanya aku mual. Mual sekali. Bahkan seluruh isi perutku seakan-akan sedang menyanyikan, I like to move it move it sambil menari-mari. Akhirnya aku minta dibelikan roti yang manis.

Alifa pun pergi untuk rapat di kampus. Kemudian ia pulang dan membaca sebungkus roti. Aku mulai makan, perlahan-lahan melawan perutku yang masih saja mual hingga habis sepertiganya. Lalu aku pun tidur hingga sore.

Ketika orangtuaku menelpon, tak dapat kusembunyikan suaraku yang lemas. Kuceritakan bahwa aku sedang sakit, tapi sudah enakan sekarang. Hanya saja, orangtuaku cemas duluan dan menyuruh-nyuruh untuk memeriksakan diri.

Akhirnya kuturuti perintah itu, sekedar agar keduaorangtuaku tidak cemas lagi. Aku minta Kak Rina menemaniku ke rumah sakit C, salah satu rumah sakit swasta di Kota Padang. Kami disambut baik dan aku langsung diperiksa. Dokter yang bersangkutan basa-basi bertanya-tanya (sebelum anamnesis) tentang diriku. Ternyata dokternya dulu juga merupakan mahasiswa Kedokteran UNAND (sama denganku). Setelah tahu aku pernah malaria, beliau menyarankan untuk memeriksa darah. Tidak perlu terlalu lama menunggu, hasil pemeriksaan keluar, tertera dalam sebuah kertas putih di dalam amplop yang sebelum diberikan ke dokter, aku baca dulu isinya. Semuanya normal, paling hematokritku agak tinggi sedikit, tapi trombositku normal. Artinya, tidak malaria, tidak DBD.

Kemudian aku dan Kak Rina kembali ke ruang dokter. Ternyata Sang Dokter malah menyuruhku membaca sendiri hasil tes darahku, mengingat aku mahasiswa kedokteran. Saat itu aku yang dari tadi murung mulai merasa baikan dan tersenyum. Dokter mengajak sedikit bicara, bertanya-tanya tetang dosen dan teman seangkatan. Kemudian, diakhir cerita, dokter mulai meresepkan obat, aku diberi tiga obat. Satu vitamin, satu penurun panas, dan satu lagi penurun asam lambung (padahal aku tidak maag).

Beliau sempat berujar, bahwa asam lambungku naik. Ini pernah terjadi juga sebelumnya saat aku hendak Ujian Nasional saat SMA. Mungkin Si Dokter menganggapku stress, berhubung juga saat itu dekat dengan jadwal ujian blok.

Yang paling berkesan adalah nasihat lucu Sang Dokter sebelum aku pamit pulang, "Jangan stress kuliah dikedokteran. Ntar bakal lulus juga, kok." Dalam hati ingin rasanya tertawa. Aku sama sekali tidak stress. Toh selama ini belajarpun jarang. Aku melewati ujian dengan santai walau persiapan tidak pernah maksimal, bahkan minimal. Paling kalau nilai rendah nyesal dikit, terus main-main lagi. Tapi, entah mengapa ada sedikit motivasi dihatiku untuk memperbaiki semuanya di blok depan.

Kenyataannya saat ini, masih main-main~

Ujung-ujungnya aku merasa begitu sehat dan malas mengambil obat di apotik (mending uangnya buat jajan gorengan ^_^). Kemudian membayar biaya pengobatan sekitar 180ribuan. Setelah pulang, aku pun langsung tidur dan keesokan paginya (walau masih lemas rasanya) aku kembali menjalani aktivitas sebagaimana mestinya.

Aku pun hingga saat ini bingung, haruskah merasa untung atau rugi. Disatu sisi aku senang karena ternyata tidak sakit apa-apa, mungkin hanya lelah. Disisi lain sedih juga, ngapain mahal-mahal bayar 180ribu toh ternyata besoknya sembuh juga tanpa minum obat. Mending beli baju kali ya. Yang jelas, aku bersyukur kembali diberi kesehatan untuk beraktivitas.

Nikmat yang dicabut:

  1. Nikmat sehat
  2. Nikmat uang 180ribu
  3. Nikmat waktu (harusnya bisa ngapa2in malah jadi musti tidur)
  4. Nikmat bahagia
Nikmat yang diberi:
  1. Nikmat beristirahat~
  2. Nikmat motivasi
  3. Nikmat syukur (masih hidup, sakit ringan)
  4. Nikmat ukhuwah >,<

Terinspirasi dari sebuah blog milik seorang senior yang menceritakan kisah beliau yang menemani juniornya yang cantik (baca: Intan Ekaverta) ke sebuah rumah sakit swasta.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Se-kepinghati | Powered by Blogger
Blogged by Intan Evrt | Blogger Template by Se-kepinghati Corporation