Jumat, 28 Desember 2012
Minggu, 23 Desember 2012
Infanticide

Nah, apakah semua kasus pembunuhan terhadap bayi ini tergolong infanticide? Tentunya tidak. Seperti yang dijabarkan diatas, ada unsur-unsur khusus yang menjadi syarat dari infanticide ini sendiri. Ada tiga unsur penting, yaitu:
- Pelaku, tentunya yang melakukan ini haruslah ibu kandung korban sendiri tanpa adanya campur tangan orang lain.
- Motif, harus murni karena terganggunya psikologis ibu
- waktu, dilakukan segera setelah anak dilahirkan
Untuk itu, perlu batasan-batasan sampai dimana suatu pembunuhan bayi itu disebut infanticide.

Bayi yang lahir hidup dapat dibuktikan dengan pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam. Pemeriksaan luar dilakukan dengan melihat bentuk dada. Pada bayi hidup bentuk dada akan bulat seperti tong. Tali pusat akan lengket ke perut, dan warna kulit kemerahan.
Untuk pemeriksaan dalam, diperlukan insisi. Pada bayi, insisi dilakukan mulai dari perut agar terlihat letak diafragma. Keadaan hidup atau mati, dilihat dari adanya udara di paru-paru, lambung, usus, liang telinga tengah, dan juga adanya makanan dilambung.
Ciri-ciri paru yang mengembang karena sempat bernapas antara lain:
- Memenuhi rongga dada, menutupi sebagian jantung
- Warna merah keunguan atau merah muda
- Gambaran mozaik atau seperti marmer
- Ujung bawah paru tumpul
- Pada paru yang diraba, akan teraba derik udara
- Pada pemotongan jaringan paru, bila dipencet, darah akan keluar bercampur buih
- Terlihat penggelembungan alveoli pada pemeriksaan mikroskopik
- Tes apung paru positif

Pembunuhan tentunya dilakukan dengan cara tertentu. Baik dengan kekerasan ataupun peracunan. Untuk itu, perlu dilihat adanya bekas pencekikan, penjeratan, pembekapan, dan penyumbatan.
Kedua adalah umur bayi. Disini, perlu diperhatikan dua hal, bayi cukup bulan dan bayi baru lahir.
Bayi yang dapat dikatakan infanticide, adalah bayi yang lahir setelah umur 7 bulan dalam kandungan. Karena dibawah 7 bulan, bayi belum bisa bertahan sehingga dimasukkan dalam kasus abortus.
Untuk bayi baru lahir, bayi yang dikatakan korban infanticide haruslah dibunuh segera setelah lahir. Hal ini dapat dilihat dari beberapa ciri, seperti adanya vernix caseosa, udara, keadaan tali pusat, dan atau mekonium.
Jika terdapat udara di lambung, berarti bayi baru saja lahir. Jika udara sampai di duodenum, berarti bayi sudah lahir lebih dari 2 jam. Jika udara dalam usus besar, berarti bayi sudah hidup 6-12 jam. Jika mekonium sudah keluar, berarti telah hidup lebih dari 24 jam. Jika tali pusat pangkalnya kemerahan, berarti bayi telah hidup selama 36 jam. Bila tali pusat kering, umur bayi sudah 2 atau 3 hari. Jika putus, berarti sudah 6-8 hari.

Keempat, tanda perawatan. Jika seorang bayi sebelumnya telah mendapatkan perawatan, berarti bayi tersebut tidak dapat digolongkan dalam kategori infanticide. Adanya perawatan menunjukkan bahwa telah terbina kasih sayang antara ibu dan anak sebelumnya. Untuk mengetahui adanya perawatan, perlu diperhatikan beberapa hal:
- Tubuh bayi yang berlumuran darah
- Plasenta masih melekat pada tali pusat
- Ujung tali pusat terpotong tidak beraturan karena dicabut dan sebagainya
- Adanya vernix casseosa
- Bayi belum berpakaian, belum mencerna air susu, dan lain-lain.
Di Indonesia, terdapat beberapa hukum yang mengatur tentang pembunuhan terhadap bayi ini, antara lain:
- KUHP 341, pembunuhan bayi tanpa rencana (maksimal 7 tahun)
- KUHP 342, pembunuhan bayi berencana (maksimal 9 tahun)
- KUHP 343, orang lain (selain ibu kandung) yang melakukan atau turut melakukan pembunuhan bayi (sama dengan pembunuhan biasa)
- KUHP 305, membuang anak dibawah usia 7 tahun (maksimal 5 tahun 6 bulan)
- KUHP 306, mengakibatkan luka berat atau mati (maksimal 7,5 - 9 tahun)
- KUHP 308, membuang anak yang baru lahir (setengah dari KUHP 305 dan 306)
- KUHP 181, menyembunyikan kelahiran atau kematian
Nah, sekian dulu bahasan tentang infanticide. Sekarang, apakah pembaca sekalian setuju dengan diringankannya hukuman terhadap ibu pelaku infanticide? Saya pribadi sejujurnya tidak. Namun, bagaimanapun kita perlu memberikan toleransi terhadap ibu yang melakukannya karena sebab tertentu, seperti ibu korban perkosaan.
Jadi menurut saya, infanticide ini dapat dicegah dengan memperbaiki kualitas mental ibu. Bagaimana caranya? Saya hanya punya satu solusi (mungkin pembaca bisa menambahkan solusi lain), mulailah hidup berorientasikan akhirat. Karena bagaimanapun, kedekatan kita dengan Tuhan, mempengaruhi kualitas spiritual kita. Semakin bagus spiritual, insyaallah, semakin bagus pula mental.
Sekian, terimakasih~
Kepustakaan:
- Gani, M. Husni, Materi Kuliah Ilmu Kedokteran Forensik. Padang. Bagian Kedokteran Forensik Universitas Kedokteran Universitas Andalas. 2007.
- Berbagai sumber yang telah disaring dari internet
- Tambahan bahan dari Kuliah Pengantar
- Tambahan bahan dari tutorial
Categories
Forensik,
Kedokteran
Jumat, 21 Desember 2012
Suatu Subuh di Perjalanan
Semalaman aku harus memangku salah satu adikku, Dzaki, yang saat itu berusia tiga tahun. Bobotnya memang tidak terlalu berat, namun posisi yang tidak mendukung membuat kakiku pegal setengah mati karenyanya. Apalagi menimbang ia juga tidur, maka aku harus menyesuaikan duduk agar kepalanya tidak terbentur kaca selama mobil berbelok-belok.
Subuhpun tiba, adzan berkumandang indah. Travel berhenti di depan sebuah masjid. Padahal aku baru saja tertidur pulas, dan Dzaki juga masih nyenyak dipangkuanku. Ibuku mengambil mukenah dalam tasnya dan bersiap-siap turun. Ia turut serta mengajakku. Tapi entah mengapa rasanya aku malas sekali turun. Apalagi mengingat Dzaki yang masih tidur, pasti repot sekali jika harus menidurkannya terlebih dahulu di jok mobil. Maka entah tiba ide dari mana aku berpikir untuk sholat di mobil saja, sambil memangku Dzaki, daripada harus capek capek turun.
Ibuku mengiyakan, lalu turun bersama Zaima, adikku yang satu lagi.
Tidak lama berselang, aku sudah hendak bertayamum. Namun Dzaki tiba-tiba bangun seperti orang kaget dan berkata, "Uni, turun lah. Dzaki mau sholat."
Jantungku langsung berdetak kuat, anak kecil ini yang menjadi alasanku malas turun dan menunaikan sholat di masjid justru berkata seperti itu. Anak kecil yang bahkan sholat lima waktu pun belum wajib baginya. Jangankan wajib, paham tentang sholat pun mungkin belum. Dan kata-kata itu, kata-kata bahwa ia ingin sholat, entah dari mana didapatkannya.
Spontan aku beristighfar, mungkinkah ini peringatan yang nyata? Mungkinkah ini sindiran dari Yang Maha Kuasa? Segera kubatalkan niatku untuk tayamum. Dengan malu yang luar biasa, yang kusimpan di dalam hati, kubawa Dzaki turun dari mobil. Kami pun berwudhu dan ke masjid, menunaikan sholat subuh.
Ibuku mengiyakan, lalu turun bersama Zaima, adikku yang satu lagi.
Tidak lama berselang, aku sudah hendak bertayamum. Namun Dzaki tiba-tiba bangun seperti orang kaget dan berkata, "Uni, turun lah. Dzaki mau sholat."
Jantungku langsung berdetak kuat, anak kecil ini yang menjadi alasanku malas turun dan menunaikan sholat di masjid justru berkata seperti itu. Anak kecil yang bahkan sholat lima waktu pun belum wajib baginya. Jangankan wajib, paham tentang sholat pun mungkin belum. Dan kata-kata itu, kata-kata bahwa ia ingin sholat, entah dari mana didapatkannya.
Spontan aku beristighfar, mungkinkah ini peringatan yang nyata? Mungkinkah ini sindiran dari Yang Maha Kuasa? Segera kubatalkan niatku untuk tayamum. Dengan malu yang luar biasa, yang kusimpan di dalam hati, kubawa Dzaki turun dari mobil. Kami pun berwudhu dan ke masjid, menunaikan sholat subuh.
Langganan:
Postingan (Atom)