Pembaca yang cakep, pernah dengar kata pesantren kah? Apa yang Anda pikirkan ketika mendengar satu kata tersebut? Mungkin ada yang dengan senyuman manis berpikir, “Subhanallah, disana berkumpul orang-orang yang mendalami agama.” Atau ada juga yang berpikir, “Itu adalah tempat anak-anak bandel dididik biar taubat.” Atau ada juga yang berpikir, “Pesantren itu tempat kuno, isinya makhluk berbaju putih, sorban, gamis, gak gaul.” Apakah ada juga yang berpikir, “isinya adalah penderitaan, makan seadanya, mandi ala kadarnya, terkurung, tidak bebas.”
Yaah, orang-orang tentunya punya presepsi yang berbeda tentang pesantren. Pada kenyataannya, memang pesantren-pesantren yang ada mempunyai sistem dan fasilitas yang berbeda-beda.
Perbedaan pendapat itu lumrah. Malah perbedaan itu yang membuat persatuan kita menjadi indah. Namun, suatu hari saya pernah mendengar seseorang berujar KURANG LEBIH seperti ini, “SAYA MENYESAL DULU PERNAH MASUK PESANTREN. UNTUNG DI PESANTREN CUMA X TAHUN, GA LAMA-LAMA.”
Yaa... perbedaan pendapat itu lumrah. Tentunya pendapat orang yang eks pesantren itu tidak dapat dipersalahkan, karena perbedaan pendapat merupakan hal yang patut dihargai.
Namun, maaf sekali, ada yang teriris di dada saya ketika mendengar kalimat seperti itu. Apalagi ketika tahu orang yang besangkutan sudah benar-benar futur dan melupakan segala tetek bengek yang pernah ia pelajari di pesantren.
Saya pun tidak menyangkal, saya sendiri merupakan eks pesantren. Dan kalau ditanya, “Apa sih yang kamu banggakan pernah sekolah di pesantren?”
Saya pun akan bingung menjawabnya. Karena jujur, saya bukanlah manusia yang punya prestasi besar yang pantas disanjung-sanjung. Tapi bukan berarti pesantren itu jelek. Hanya saja pertanyaan tersebut kurang tepat jika ditanyakan ke saya. Tapi kalau masih ngotot mau jawaban, saya bisa carikan orang-orang sukses alumnus pesantren yang saya kenal.
Tapi, mengingat tidak ada yang istimewa dari pesantren ini, tidak dapat dipungkiri bahwa bagi saya, anugrah terbesar yang diberikan Allah kepada saya adalah PERNAH MENJADI SANTRI DI PESANTREN.
Di pesantren lah saya mengenal agama saya yang sesungguhnya. Disanalah awal mula Allah memberikan hidayahnya kepada saya. Di sana saya menghafal al-Qur’an, memahami agama dan berkenalan dengan ukhuwah islamiyah. Mungkin bagi rekan-rekan yang membaca, ini sepele. Tapi bagi saya, Allah sudah sangat baik kepada saya dengan mengenalkan saya pada agama saya yang kaffah sejak masih sangat muda.
Sayang sekali, setelah keluar dari pesantren saya malah menyia-nyiakan hidayah yang pernah saya dapat, berhubung saya di pesantren hanyalah seumur jagung. Kebanyakan orang yang saya kenal dan bernasib sama pun begitu. Selepas mereka dari pesantren, seakan-akan didikan pesantren itu tidak pernah ada. Maklum, umumnya keluar di usia muda dan belum benar-benar menemukan jati dirinya ketika berada di pesantren sehingga setelah keluar cendrung masih mencari yang lain. (Beruntunglah orang yang sudah ketemu jati dirinya di pesantren *andai itu saya*)
Ketika itulah para eks pesantren menemukan banyak kejanggalan yang ada di pesantren. Pemikiran anak pesantren yang jelas berbeda dengan orang-orang luar dan kebiasaan orang-orang luar yang dianggap lebih fun dari pada kebiasaan selama di pesantren. Kemudian, pesantren yang dulu membesarkan para eks pesantren tersebut akan sendirinya mereka anggap kolot. (Alhamdulillahsaya tidak sampai ke tingkat ini, dong)
Lantas, apakah setelah itu seseorang benar-benar pantas menyesali bahkan mencacimaki pesantren yang pernah mereka tempati?
Tentunya ini bukan hal yang pantas untuk disesali apalagi dicacimaki. Inilah jalannya Allah memberikan petunjuk bagi orang-orang yang pernah mendekam di penjara suci ini. Mengingat keadaan Indonesia yang nyaris sekuler, tidak semua orang beruntung dikenalkan pada Islam sejak masih sangat kecil.
Nyatanya, kiamat pasti akan datang. Dunia ini akan hancur dengan sendirinya. Semua yang kita kejar di dunia pun akan ikut menjadi keping-keping ketika Allah memanggil kita untuk kembali. Itulah sebabnya kita sangat butuh akan ilmu agama. Seringkali kita hati kita ditutupi kabut kesombongan sehingga ketika kita haus akan ilmu agama, ada sisi yang menyangkal dan memberi minuman lain sebagai penggantinya.
Para eks pesantren, begitulah, dunia ini hanya sementara. Tidakkah rekan-rekan merasakan bahwa kesempatan yang diberikan Allah pada rekan-rekan sekalian di pesantren dulu merupakan bukti bahwa Allah pernah memanggil rekan-rekan kesisi-Nya? Bukankah itu tanda sayangnya Allah pada kita? Kita lah yang dipilih-Nya saat itu. Walaupun sekarang kita telah disuguhi dengan minuman yang salah, jangan pernah menyesali pernah mendapat didikan di pesantren. Tapi bersyukurlah, biarpun sekarang kita cendrung menjauh, namun di pesantrenlah kita pernah dikenalkan dengan agama. Disanalah kita diberi pemahaman tentang dunia dan akhirat.
Rekan-rekan, tolonglah jangan terlalu sombong, jangan sampai kesombongan itu malah memakan kita di akhirat nanti. Marilah kita melihat lagi ke dalam hati kita dan jangan tepiskan jika hati berkata jujur, “Di pesantrenlah saya pernah benar-benar merasakan ketenangan. Ketika itu, ketika Allah memanggil jiwa saya, ketika saya benar-benar berada di posisi yang sangat dekat dengan-Nya.”
Jadi, jika masih ada yang mengemukakan penyesalan akan pesantren pada saya, dengan lantang saya akan membalas, “SAYA ADALAH ORANG YANG BERUNTUNG KARENA DI UMUR 12 TAHUN ALLAH TELAH MEMANGGIL SAYA UNTUK UNTUK MEMAHAMI AGAMA-NYA DI KONDISI MASYARAKAT YANG KEBANYAKAN CENDRUNG MENOMOR DUAKAN URUSAN AGAMA. BAGI SAYA ITU TANDANYA ALLAH CINTA PADA SAYA.”
*Ditulis hanya sebagai pengobat hati yang luka karena omongan orang lain yang penuh kesombongan akan Tuhan.
"Ya Allah, perlihatkanlah kepada kami bahwa yang benar itu benar dan berilah kemampuan kepada kami untuk mengikutinya. Dan perlihatkanlah kepada kami bahwa yang bathil itu bathil dan berilah kemampuan kepada kami untuk menghindarinya". (HR. Ahmad dan Ibnu Saani)
0 komentar:
Posting Komentar