Senin, 05 Januari 2015

Korban Angkutan Umum

Catatan Unknown pada 6:24 PM
Sedikit curhat tentang asam-manis menjadi pemakai angkutan umum...

Masih terngiang hebohnya demo supir angkot Kota Padang saat BBM naik dari Rp 6.500 menjadi Rp 7.500 18 November lalu. Penumpang yang masih di atas angkot DIPAKSA turun lantaran supir hendak ikut demo. Untungnya saat itu saya tidak kemana-mana. Namun mendengar cerita dari beberapa junior yang mengikuti perkuliahan di kampus Unand Limau Manis dan setelahnya harus kembali ke kampus Unand Jati, miris sekali. Padahal dalam satu angkot itu isinya 'mereka' semua, angkatan 2013 FK Unand yang hendak menuju Jati. Namun di tengah jalan mereka diturunkan begitu saja. Awalnya mereka tidak mau turun, namun kemudian Si Supir Angkot menggoyang-goyangkan angkotnya dari luar sehingga junior-junior saya tersebut cemas dan terpaksa turun.

Jelas sekali bahwa supir angkot bukanlah tenaga profesional. Supir angkot tidak mendapat pelatihan terkait melayani. Bukan sedikit angkot yang 'sembarang laju'. Bawa mobil seperti orang mabuk. Belum lagi musik di dalam angkot yang kerap memekakkan telinga. Tak hanya itu, bukan hanya sekali saya temui supir angkot yang sudah jalan walau penumpangnya belum duduk dengan baik. Risiko kecelakaannya tinggi, tingkat kecemasan penumpang juga jadi tinggi. Belum lagi supir angkot itu kebanyakan ngomongnya kasar dan sering mencarut. Sangat tidak bermoral.

Itu saya maklumi. Toh Supir Angkot tahunya cuma cari uang, bukan melayani.

Namun, beberapa kelakuan Supir angkot di Padang yang sulit sekali untuk saya tolerir. Entah karena sifat saya yang memang tidak sabar dan sulit memaafkan. Tapi beberapa kejadian membuat saya geram denga Supir Angkot.

Pertama, ketika saya baru di Padang, liburan semester satu. Saat itu saya hendak ke loket bus Family Raya, karena hendak pulang ke Jambi. Saya memutuskan naik angkot. Sebelum naik angkot jurusan Indarung, saya berpesan pada Supir Angkot untuk menurunkan saya di Loket Family Raya sembari bertanya apakah Sang Supir tahu dimana letak loket tersebut. Ia mengangguk dan berkata akan memberitahu saya ketika tiba. Saya pun naik dengan tenang, mengingat di Bandung (sebelumnya saya berdomisili di Bandung), jika tidak tahu tujuan, tinggal bilang saja ke Supir Angkot, maka kita akan diantarkan ke tujuan.

Angkotpun melaju saat itu. Cukup lama di perjalanan, akhirnya Supir angkot tersebut mengatakan bahwa saya sudah sampai di loket Family Raya. Maka saya turun dan Si Supir melanjutkan perjalanan. Namun apa yang saya temui? Hanya deretan rumah penduduk. Saya tidak tahu itu dimana dan entah yang mana loket Family Raya. Maka saya bertanya pada warga. Lalu apa jawabannya? Loket tersebut sudah lewat! Jauh di belakang.

Tidak tahan, akhirnya saya menggerutu akan barang bawaan saya yang saat itu cukup berat, lalu kembali mencari angkot yang berbalik arah.

Kedua, ketika saya hendak ke rumah kenalan di Siteba. Angkot arah Siteba, tidak semuanya sampai ke Stikes Siteba. Sementara saya saat itu memerlukan angkot yang sampai ke Stikes Siteba. Maka sebelum naik angkot, saya bertanya terlebih dahulu apakah angkot tersebut sampai ke Stikes Siteba. Setelah yakin Sang Supir menjawab, ya, maka saya segera naik. Namun di perjalanan, beberapa teman Si Supir memasuki angkot. Saya kurang mengerti dengan yang mereka bicarakan, namun setelah terjadi diskusi alot, mungkin karena saya sendiri di atas angkot tersebut, Si Supir memutuskan untuk berbalik arah dan saya disuruh turun. Siapa yang tidak keki seenaknya saja dibegitukan. Saya protes lantaran tidak diantar sampai tempat tujuan dan menolak membayar. Akhirnya mungkin menyadari kesalahannya, Si Supir mengizinkan saya tidak membayar saat itu.

Ketiga, kasusnya sama seperti yang kedua. Saya dan teman saya, dari kampus Unand Limau Manis menju kampus Unand Jati. Sementara teman saya tujuannya adalah Mangun Sarkoro. Kami hanya berdua di angkot tersebut. Lantas, Supir Angkot tersebut berbelok sebelum Mangun Sarkoro dan berhenti setelah Rumah Sakit M. Djamil. Artinya, tidak lewat Mangun Sarkoro dan tidak lewat Kampus Unand Jati, tidak lewat lintasan yang biasanya dilewati angkot jurusan tersebut. Dengan alasan tinggal jalan sedikit, Si Supir memaksa kami turun. Ketika kami bilang kami minta diantar sampai tujuan, Si Supir malah berkata, "Yasudah kalau begitu balik saja ke Limau Manis."

Kami terpaksa turun. Saya memang bisa jalan dari Rumah Sakit ke kampus. Namun teman saya, tidak mungkin berjalan sampai Mangun Sarkoro. Ia terpaksa naik angkot yang lain.

Itulah prilaku supir angkot yang suka seenaknya, tidak profesional, dan tidak bertanggungjawab. Tidak semua supir angkot memang yang seperti itu. Namun harusnya yang seperti ini menjadi perhatian pemerintah. Wajar saja motor dan mobil membludak jumlahnya. Siapa yang mau capek-capek naik angkot jika pelayanannya kelas bawah seperti itu. Pastilah orang yang berkecukupan akan lebih memilih naik kendaraan pribadi dan menambah polusi.

Tidak hanya itu, saya sendiri pernah menjadi korban supir taxi. Saat itu saya dari Jambi ke Padang naik bus Family Raya. Sesampainya di loket, semua penumpang turun. Untuk sampai ke kosan, saya perlu naik angkot. Sayangnya, saat itu masih setengah lima subuh dan belum ada angkot yang lewat. Karena punya prinsip untuk sebisa mungkin tidak berduaan dengan tukang ojek di motor, maka saya menawar taxi. Tawar menawar berlangsung dari Rp 60.000 ke Rp 40.000. Jelas sekali tawar menawar tersebut memakan waktu yang tidak sedikit dan saya bukan orang budeg yang tidak bisa membedakan antara 40.000 dan 140.000.

Namun begitu sampai tujuan, saya membayar 40.000 Supir Taxi malah meminta 100.000 lagi dengan dalih saya salah dengar. Jujur, saat itu melawan, namun mengingat saya perlu cepat-cepat mandi karena harus segera berangkat kuliah untuk upacara jam 07.00, maka akhirnya saya mengalah. Tetap saja, saya berlinang air mata dan keluarlah do'a yang tidak pantas dari bibir saya.

Beberapa kali menjadi korban angkutan umum, saya meneguhkan niat untuk belajar membawa motor. Jika sudah lancar nanti, saya berharap orangtua saya mempunyai rezeki untuk membelikan saya sepeda motor. Amin.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Se-kepinghati | Powered by Blogger
Blogged by Intan Evrt | Blogger Template by Se-kepinghati Corporation