Rabu, 08 Januari 2014

Sekeping Hati

Catatan Unknown pada 12:56 PM
Hidayah, sungguh beruntung gadis itu menemukannya dalam usia yang begitu muda. Anugrah besar ketika ia mulai menutupi seluruh auratnya dan mengabdikan diri atas nama Tuhannya. Ia mendalami kitab-kitab agamanya dan begitu bersemangat mengerjakan amalan-amalan sunnah. Walau kadang jemu dan rindu membuatnya ingin pergi dari pesantren. Ia tetap menguatkan hati mempersiapkan diri untuk hal yang lebih berarti.

Bahkan ia sendiri yang dulu membujuk keduaorangtuanya agar diperbolehkan terkurung dari dunia. Ia sendiri yang bergelora menuntut ilmu lebih dari sekedar menggapai cita-cita. Ia sendiri yang membuat angan untuk menjadi pribadi muslim sesungguhnya.

Ia mulai menghapal qur'an disepertiga malam terakhir. Ia mulai bersemangat membawa angannya jauh dalam pengabdian terhadap agamanya. Ketika... sudah akhir dari masa SMPnya, ia harus pergi dengan segala pertimbangan.

Orang bilang, itu lebih baik untuknya. Tapi...


Kemudian ia terbangun di tempat yang baru. Namun, bukan sayup-sayup sepertiga malam terakhir yang membangunkannya, melainkan adzan subuh. Ia merasa terlambat, ia merasa paginya telah pergi. Ketika ia keluar, ia saksikan teman-temannya tak sempurna menutupi aurat mereka, tak benar-benar mengejar tilawah dan memuroja'ah hapalan, tak sungguh-sungguh mendalami agama. Aah, mengapa disini berbeda? Mengapa dunia yang fana jadi indikator kesuksesan.

Dan ia sendiri. Sendiri dan mulai terbawa arus.

Dalam hatinya penuh pergolakan. Ia masih ingin dikuatkan dengan halaqoh dan ukhuwah. Ia masih perlu ditegur oleh ustadz dan ustadzahnya. Ia belum sepenuhnya matang untuk menjadi sendiri. Ia belum kuat untuk menyandang gelar ghuroba'.

Ia teringat sebuah nasyid, Sekeping Hati.

Ya, Sekeping Hati yang berlari di jalanan sepi.

Ia berlari. Ia berharap tiga tahun terlewati dengan cepat. Ia berharap ia segera keluar dari kehampaan dan mencari lagi cahaya di tempat lainnya. Ia berharap, ia lalui jalanan sepi hingga menumukan keramaian yang bisa membawanya kembali seperti dulu. Ia begitu terobsesi untuk cepat keluar, dan mendapati jalan kebenaran yang indah terbentang, atas nama pejuang.

Dan ia bimbang menyadari dirinya telah melebur. Akankah kakinya kuat untuk tetap melangkah bila bertemu duri di jalan? Sementara ia telah lupa isi kitab-kitab yang dibacanya. Ia telah lupa hadist dan ayat yang dulu dihapalnya. Ia telah membuka sedikit dari aurat yang musti dijaganya. Ia rapuh, lemah, biar lubuk hatinya hancur, ia lebih memilih "diterima" lingkungannya daripada mempertahankan apa yang telah merasuk dalam jiwanya.

Dan ia hanya menunggu, menunggu, dan menunggu, waktu bergulir dengan golakan hati dan kesabaran yang begitu teruji. Suatu saat nanti, ketika tiba saatnya ia dapat menentukan sendiri jalan hidupnya, ia akan mencari lagi cahaya yang dulu ditinggalkannya.

Itulah mengapa ia menamai dirinya, Sekeping Hati.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Se-kepinghati | Powered by Blogger
Blogged by Intan Evrt | Blogger Template by Se-kepinghati Corporation