Mataku tertuju pada sebuah sepatu teplek merah muda. Sepatu itu pastilah cocok dengan gamis hitamku yang bercorak bunga-bunga merah muda. Aku juga sudah membeli jilbab merah muda dan tas tangan senada sebagai paduannya. Rencanya akan kukenakan dalam pesta pernikahan teman karibku semenjak duduk di bangku menengah atas yang akan dilangsungkan dua minggu lagi.
Dengan sigap kuambil sepatu itu dan kucocokkan dengan kakiku. Sangat manis kelihatannya. Namun kuputuskan juga untuk meminta pendapat Darma, lelaki penggemar kemeja kotak-kotak disampingku. Dengan senyum ramahnya ia mengangguk setuju. Tanpa lebih lama lagi melihat yang lain aku segera membayar sepatu itu.
Begitu keluar dari toko sepatu, kupandang ramainya kerumunan manusia di mall. Mataku melirik waspada pada orang-orang yang terlintas pandangan. Begitu juga mata Darma. Kami seperti dimata-matai sekaligus memata-matai. Seakan-akan ada golongan musuh yang harus kami hindari.
Berbelok ke arah kiri, kami berjalan dengan cepat. Aku melangkah setengah menunduk, wajahku harus terlindungi dari pantauan orang yang tidak boleh mengetahui keberadaanku. Darma dengan setia menarikku jika aku hampir menabrak siapa saja ketika berjalan.
Menuruni eskalator, mata kami melirik waspada pada orang-orang yang mencurigakan. Seakan-akan kami buronan, dimata-matai sekaligus memata-matai. Seakan-akan kami mengemban misi besar yang sangat rahasia, yang bermanifestasi pada kelangsungan kehidupan orang banyak. Maka kami harus selamat, menjaga agar keberadaan kami tidak terdeteksi orang banyak.
"Dorr!" suara menggemuruh tiba-tiba terdengar satu lantai diatas kami.
Keramaian mall tiba-tiba terusik, Orang-orang yang sebelumnya tenang berlalu-lalang mulai berlarian mencari tempat sembunyi. Wajah-wajah yang tadinya ceria berubah cemas penuh ketakutan.
Sekilas kupalingkan kepalaku kebelakang, sedikit menengadah mencari sumber sementara eskalator berjalan turun. Seorang pria rapi dengan kemeja hitam dan kaca mata hitam menembakkan pistol ke udara. Tapi. masalah lain dengan cepat muncul. Segerombolan suku kubu dengan celana cheers konvensional dan coretan pipi yang khas tiba-tiba mengguyuri pintu depan mall di lantai dimana eskalator kami menuju, baseman.
Dengan sigap Darma menggenggap erat lenganku, membantuku lompat ke eskalator disebelahnya yang menuju keatas. Tas berisi sepatu merah jambuku jatuh. Sekilas teringat pesta temanku nanti, namun kubiarkan. Kali ini ada yang lebih penting untuk diselamatkan. Sepatu itu bisa dibeli lagi, toh jaraknya masih dua minggu.
Aku dan Darma berlari, berpacu dengan jalan eskalator, lalu berbelok ke arah yang berlainan dari pria rapi yang menambak ke udara tadi. Kami menyelip diantara kerumunan orang-orang ketakutan, sementara gerombolan suku kubu dengan panah dan tombak mengejak kami.
Darma membawaku memasuki lift yang kemudian melaju ke lantai sembilan, lantai paling atas. Lalu kami keluar dan menaiki tangga yang membawa kami ke atap. Sebuah pulpen hitam dikeluarkan Darma dari saku celana hitamnya. Dari mata pulpennya keluar untaian tali yang panjang. Ujung atas pulpen pun berubah menjadi pengait yang kuat. Tak mau kalah, kukeluarkan juga benda yang sama dari tas sampingku. Kami mulai beraksi, menuruni bagian belakang gedung dengan cepat. Aku sedikit terganggu dengan rok panjang yang kukenakan, namun bukan masalah berarti. Kecepatanku tak kalah dari Darma.
Tak sampai semenit, kami sampai di bawah. Darma menekan tombol klik di sisi pulpennya sehingga pengait hilang dan tali kembali masuk ke pulpen. Begitu juga aku. Kemudian kami lari, sekencang-kencangnya, sejauh-jauhnya. Menjauhi kejaran suku kubu dan panah-panah yang yang mulai dilemparkan dari atap gedung.
Dan aku, terbangun. Dua kali sudah mimpi aneh itu bertandang dalam tidurku. Pada kenyataanya, aku bahkan belum pernah ke mall itu, dan aku sama sekali tidak mengenal Darma. Apalagi misi yang kami emban yang membuat keselamatanku menjadi taruhan.
Masih separuh mengantuk, kuputuskan berdiri dari kasurku. Baru kusadar pakaianku masih sempurna menutupi auratku, aku pasti tertidur kelelahan setelah pulang dari kampus siang tadi. Kulirik jam, masih satu jam lagi sebelum azan ashar. Kuputuskan untuk membasuh muka, merapikan kembali pakaianku dan membeli roti di luar apartemen.
Baru saja kubuka pintu kamar apartemenku sedikit, aku dikejutkan oleh orang-orang kubu yang lalu lalang, seakan-akan mencari sesuatu. Segera kututup kembali, otakku tiba-tiba menyeruak agar aku menyelamatkan diri. Kuputar mataku, melihat apapun disekelilingku. Tanpa pikir panjang, kubuka jendela apartemenku, dan kupandang yakin sembilan lantai kebawah. Tidak ada Darma yang membantuku lari, tidak ada pulpen bertali yang menakjubkan. Ya, tidak ada apa-apa yang menjamin nyawaku.
Perlahan kututup mataku, kuyakinkan diriku. Semua itu tidak berarti, karena aku punya satu yang kuyakin lebih dari apapun, Allah. Ya, Allah, yang hidup matiku ada ditangannya. Sekarang, yang penting, aku melarikan diri, mengusahakan keselamatanku sekaligus menyelamatkan misi yang tak kumengerti.
0 komentar:
Posting Komentar