Mimpi...
Setiap orang memiliki mimpi dalam hidupnya. Baik mimpi yang dengan sekuat tenaga dicapai dengan dera dan derita, baik itu mimpi yang dicapai setengah-setengah, ataupun yang dihadapi dengan sikap pesimis. Apa sajalah, yang jelas setiap yang memiliki mimpi pasti memiliki sedikitnya setetes dua tetes harapan agar mimpinya terwujud.
Ya, begitu juga saya, sebagai manusia dengan segala fitrahnya, saya juga memiliki mimpi. Tidak hanya satu, tapi puluhan. Ketika SMA dulu, saya pernah menuliskannya dihalaman terdepan diary saya. Sengaja tidak ditempel di dinding seperti orang-orang lainnya, karena (jujur) saya malu jika orangtua, adik-adik, dan teman-teman saya membacanya.
Dalam diary tersebut saya menulis satu mimpi dengan font yang lebih besar dibandingkan dengan yang lainnya. Kenapa? Ya, karena mimpi tersebut begitu spesial. Bagi saya, itulah mimpi yang sebenar-benarnya mimpi.
Pertama kali, saat masih kelas 2 SD saya diam-diam menjadikan sebuah buku tulis untuk menulis bait-bait yang sekilas terlintas dalam pikiran saya. Ada cerpen, puisi, coret-coretan, dal lainnya. Semua imajinasi kecil saya ditumpahkan disana. Bahkan ada pula buku rahasia yang saya jadikan diary, saya memang sudah menulis diary sejak kecil. Tapi itu hanya menjadi hobi, tak lebih saat itu. Hingga SMP, saya sengaja menyisihkan uang jajan untuk membeli buku-buku tebal khusus untuk saya penuhi dengan imajinasi saya. Beberapa teman kerap membacanya. Kebanyakan suka dengan tulisan-tulisan saya. Bahkan ada yang memaksa saya untuk menyelesaikan suatu tulisan apabila ia membacanya sebelum sempat saya selesaikan.
Hal tersebut membawa mimpi tersendiri bagi saya. Ya, andaikan yang membaca tulisan-tulisan saya bukan hanya teman-teman satu sekolah, tapi juga orang-orang se-Indonesia, bahkan sedunia. Wah, keren sekali. Maka saya tanamkan dalam hati saya, saya ingin menjadi penulis terkenal.
Saat itu, bahkan saya tidak mengerti bagaimana caranya mempublikasikan tulisan-tulisan saya. Saya hanya bertekad dalam hati, dan menunggu dewasa, agar tulisan saya nantinya dapat dibaca semua orang.
Seseorang kemudian menyarankan saya untuk membuat blog. Wah, mendengar kata "blog" saja saat itu baru pertama kali. Kemudian bermodal satu buku panduan membuat blog yang saya beli di toko buku, saya mulai membuatnya. Namun, banyak keadaan yang membuat saya tidak sempat membuka blog tersebut.
Masa SMP berlalu, SMA pun menjelang. Keberuntungan, saya mengecap pendidikan di sekolah berasrama dengan jadwal yang padat, yang sudah diatur oleh pihak sekolah, dari pagi sampai sore. Jangankan untuk menulis seperti di SD dan SMP, untuk sekedar menulis diary saja tidak cukup waktu rasanya. Maka saya tidak lagi menulis, tidak lagi menyisihkan buku untuk menumpahkan imajinasi saya. Tapi beberapa kali saya mencoba mengirimkan tulisan yang saya buat semasa SMP ke koran daerah. Alhamdulillah sedikitnya tulisan itu dimuat.
Walau saya sudah jarang sekali menulis, bahkan kebiasaan menulis diary sudah berlalu, bukan berarti mimpi itu ikut pergi. Keinginan untuk menjadi penulis terkenal tetap kuat, mengekang erat-erat segenap jiwa saya. Maka ketika saya bertekad untuk kembali menulis, kelas 2 SMA saat itu, saya mulai dengan membeli buku diary baru, dan menuliskan sebuah mimpi besar dihalaman pertamanya.
Aah, sayang itu sesaat saja. Beberapa minggu kemudian saya tidak lagi menulis diary.
Begitulah, hingga kini, saya tidak lagi menulis dengan rutin. Tidak seperti SD dan SMP dulu. Beberapa kali mencoba menulis, namun lebih banyak malas menguasai. Tapi suatu ketika, saya mendapati tulisan saya di sebuah web yang memuat berbagai cerpen, "Loker Seni". Judulnya, Do'a Mali. Terinspirasi dari pengalaman pertama masuk ruang anatomi, tukang sampah, dan tukang ikan. Bukan cerpen yang bagus sebenarnya, hanya tulisan aneh yang bahkan sebelumnya ditolak oleh sebuah majalah remaja. Hihihi...
Tapi sungguh tak menyangka, beberapa bulan setelah itu, seseorang me-message saya via Facebook. Seseorang yang saya samasekali belum mengenalnya. Beliau bilang, "Ini mbak yang menulis Do'a Mali, ya? Suka sama cerpennya."
Saya tersenyum remeh membacanya. Bukan meremehkan siapa-siapa, tapi meremehkan diri sendiri. Bukan sekali ini ada yang mengatakan "suka" dengan cerpen yang saya buat. Bahkan saya tidak merasa tersanjung jika ada yang mengatakannya. Tapi saya menganggap diri saya remeh.
Ya, remeh. Remeh sekali.
Saya punya kesempatan banyak dan kemampuan yang bisa diasah jika saya mau menggapai mimpi besar itu. Saya bisa berusaha keras jika saya benar-benar memimpikan jadi seorang penulis terkenal. Tapi saya bukan orang dengan motivasi yang tinggi, bukan orang dengan nyali yang kuat. Saya seringkali merencanakan hal-hal remeh demi terwujudnya mimpi besar itu, tapi selalu putus ditengah jalan. Selalu hal-hal yang terjadi saya jadikan alasan untuk BERHENTI.
Benar-benar memalukan saya ini. Padahal saya sendiri yang menulis di buku diary tentang menjadi penulis terkenal. Tapi untuk mewujudkannya saya "nol" besar.
Ya, begitulah segelintir curahan hati saya. Curahan hati yang saya tulis dengan ribuan penyesalan, atas kesempatan yang selama ini terbuang sia-sia, atas mimpi yang hanya jadi bunga tidur dan imajinasi saja.