Selasa, 28 Januari 2014

Penulis Terkenal

Catatan Unknown pada 5:56 PM 0 komentar

Mimpi...

Setiap orang memiliki mimpi dalam hidupnya. Baik mimpi yang dengan sekuat tenaga dicapai dengan dera dan derita, baik itu mimpi yang dicapai setengah-setengah, ataupun yang dihadapi dengan sikap pesimis. Apa sajalah, yang jelas setiap yang memiliki mimpi pasti memiliki sedikitnya setetes dua tetes harapan agar mimpinya terwujud.

Ya, begitu juga saya, sebagai manusia dengan segala fitrahnya, saya juga memiliki mimpi. Tidak hanya satu, tapi puluhan. Ketika SMA dulu, saya pernah menuliskannya dihalaman terdepan diary saya. Sengaja tidak ditempel di dinding seperti orang-orang lainnya, karena (jujur) saya malu jika orangtua, adik-adik, dan teman-teman saya membacanya. 

Dalam diary tersebut saya menulis satu mimpi dengan font yang lebih besar dibandingkan dengan yang lainnya. Kenapa? Ya, karena mimpi tersebut begitu spesial. Bagi saya, itulah mimpi yang sebenar-benarnya mimpi. 

Pertama kali, saat masih kelas 2 SD saya diam-diam menjadikan sebuah buku tulis untuk menulis bait-bait yang sekilas terlintas dalam pikiran saya. Ada cerpen, puisi, coret-coretan, dal lainnya. Semua imajinasi kecil saya ditumpahkan disana. Bahkan ada pula buku rahasia yang saya jadikan diary, saya memang sudah menulis diary sejak kecil. Tapi itu hanya menjadi hobi, tak lebih saat itu. Hingga SMP, saya sengaja menyisihkan uang jajan untuk membeli buku-buku tebal khusus untuk saya penuhi dengan imajinasi saya. Beberapa teman kerap membacanya. Kebanyakan suka dengan tulisan-tulisan saya. Bahkan ada yang memaksa saya untuk menyelesaikan suatu tulisan apabila ia membacanya sebelum sempat saya selesaikan.

Hal tersebut membawa mimpi tersendiri bagi saya. Ya, andaikan yang membaca tulisan-tulisan saya bukan hanya teman-teman satu sekolah, tapi juga orang-orang se-Indonesia, bahkan sedunia. Wah, keren sekali. Maka saya tanamkan dalam hati saya, saya ingin menjadi penulis terkenal.

Saat itu, bahkan saya tidak mengerti bagaimana caranya mempublikasikan tulisan-tulisan saya. Saya hanya bertekad dalam hati, dan menunggu dewasa, agar tulisan saya nantinya dapat dibaca semua orang.

Seseorang kemudian menyarankan saya untuk membuat blog. Wah, mendengar kata "blog" saja saat itu baru pertama kali. Kemudian bermodal satu buku panduan membuat blog yang saya beli di toko buku, saya mulai membuatnya. Namun, banyak keadaan yang membuat saya tidak sempat membuka blog tersebut.

Masa SMP berlalu, SMA pun menjelang. Keberuntungan, saya mengecap pendidikan di sekolah berasrama dengan jadwal yang padat, yang sudah diatur oleh pihak sekolah, dari pagi sampai sore. Jangankan untuk menulis seperti di SD dan SMP, untuk sekedar menulis diary saja tidak cukup waktu rasanya. Maka saya tidak lagi menulis, tidak lagi menyisihkan buku untuk menumpahkan imajinasi saya. Tapi beberapa kali saya mencoba mengirimkan tulisan yang saya buat semasa SMP ke koran daerah. Alhamdulillah sedikitnya tulisan itu dimuat.

Walau saya sudah jarang sekali menulis, bahkan kebiasaan menulis diary sudah berlalu, bukan berarti mimpi itu ikut pergi. Keinginan untuk menjadi penulis terkenal tetap kuat, mengekang erat-erat segenap jiwa saya. Maka ketika saya bertekad untuk kembali menulis, kelas 2 SMA saat itu, saya mulai dengan membeli buku diary baru, dan menuliskan sebuah mimpi besar dihalaman pertamanya.

Aah, sayang itu sesaat saja. Beberapa minggu kemudian saya tidak lagi menulis diary.

Begitulah, hingga kini, saya tidak lagi menulis dengan rutin. Tidak seperti SD dan SMP dulu. Beberapa kali mencoba menulis, namun lebih banyak malas menguasai. Tapi suatu ketika, saya mendapati tulisan saya di sebuah web yang memuat berbagai cerpen, "Loker Seni". Judulnya, Do'a Mali. Terinspirasi dari pengalaman pertama masuk ruang anatomi, tukang sampah, dan tukang ikan. Bukan cerpen yang bagus sebenarnya, hanya tulisan aneh yang bahkan sebelumnya ditolak oleh sebuah majalah remaja. Hihihi...

Tapi sungguh tak menyangka, beberapa bulan setelah itu, seseorang me-message saya via Facebook. Seseorang yang saya samasekali belum mengenalnya. Beliau bilang, "Ini mbak yang menulis Do'a Mali, ya? Suka sama cerpennya."

Saya tersenyum remeh membacanya. Bukan meremehkan siapa-siapa, tapi meremehkan diri sendiri. Bukan sekali ini ada yang mengatakan "suka" dengan cerpen yang saya buat. Bahkan saya tidak merasa tersanjung jika ada yang mengatakannya. Tapi saya menganggap diri saya remeh.

Ya, remeh. Remeh sekali.

Saya punya kesempatan banyak dan kemampuan yang bisa diasah jika saya mau menggapai mimpi besar itu. Saya bisa berusaha keras jika saya benar-benar memimpikan jadi seorang penulis terkenal. Tapi saya bukan orang dengan motivasi yang tinggi, bukan orang dengan nyali yang kuat. Saya seringkali merencanakan hal-hal remeh demi terwujudnya mimpi besar itu, tapi selalu putus ditengah jalan. Selalu hal-hal yang terjadi saya jadikan alasan untuk BERHENTI.

Benar-benar memalukan saya ini. Padahal saya sendiri yang menulis di buku diary tentang menjadi penulis terkenal. Tapi untuk mewujudkannya saya "nol" besar.

Ya, begitulah segelintir curahan hati saya. Curahan hati yang saya tulis dengan ribuan penyesalan, atas kesempatan yang selama ini terbuang sia-sia, atas mimpi yang hanya jadi bunga tidur dan imajinasi saja.

Rabu, 08 Januari 2014

Sekeping Hati

Catatan Unknown pada 12:56 PM 0 komentar
Hidayah, sungguh beruntung gadis itu menemukannya dalam usia yang begitu muda. Anugrah besar ketika ia mulai menutupi seluruh auratnya dan mengabdikan diri atas nama Tuhannya. Ia mendalami kitab-kitab agamanya dan begitu bersemangat mengerjakan amalan-amalan sunnah. Walau kadang jemu dan rindu membuatnya ingin pergi dari pesantren. Ia tetap menguatkan hati mempersiapkan diri untuk hal yang lebih berarti.

Bahkan ia sendiri yang dulu membujuk keduaorangtuanya agar diperbolehkan terkurung dari dunia. Ia sendiri yang bergelora menuntut ilmu lebih dari sekedar menggapai cita-cita. Ia sendiri yang membuat angan untuk menjadi pribadi muslim sesungguhnya.

Ia mulai menghapal qur'an disepertiga malam terakhir. Ia mulai bersemangat membawa angannya jauh dalam pengabdian terhadap agamanya. Ketika... sudah akhir dari masa SMPnya, ia harus pergi dengan segala pertimbangan.

Orang bilang, itu lebih baik untuknya. Tapi...


Kemudian ia terbangun di tempat yang baru. Namun, bukan sayup-sayup sepertiga malam terakhir yang membangunkannya, melainkan adzan subuh. Ia merasa terlambat, ia merasa paginya telah pergi. Ketika ia keluar, ia saksikan teman-temannya tak sempurna menutupi aurat mereka, tak benar-benar mengejar tilawah dan memuroja'ah hapalan, tak sungguh-sungguh mendalami agama. Aah, mengapa disini berbeda? Mengapa dunia yang fana jadi indikator kesuksesan.

Dan ia sendiri. Sendiri dan mulai terbawa arus.

Dalam hatinya penuh pergolakan. Ia masih ingin dikuatkan dengan halaqoh dan ukhuwah. Ia masih perlu ditegur oleh ustadz dan ustadzahnya. Ia belum sepenuhnya matang untuk menjadi sendiri. Ia belum kuat untuk menyandang gelar ghuroba'.

Ia teringat sebuah nasyid, Sekeping Hati.

Ya, Sekeping Hati yang berlari di jalanan sepi.

Ia berlari. Ia berharap tiga tahun terlewati dengan cepat. Ia berharap ia segera keluar dari kehampaan dan mencari lagi cahaya di tempat lainnya. Ia berharap, ia lalui jalanan sepi hingga menumukan keramaian yang bisa membawanya kembali seperti dulu. Ia begitu terobsesi untuk cepat keluar, dan mendapati jalan kebenaran yang indah terbentang, atas nama pejuang.

Dan ia bimbang menyadari dirinya telah melebur. Akankah kakinya kuat untuk tetap melangkah bila bertemu duri di jalan? Sementara ia telah lupa isi kitab-kitab yang dibacanya. Ia telah lupa hadist dan ayat yang dulu dihapalnya. Ia telah membuka sedikit dari aurat yang musti dijaganya. Ia rapuh, lemah, biar lubuk hatinya hancur, ia lebih memilih "diterima" lingkungannya daripada mempertahankan apa yang telah merasuk dalam jiwanya.

Dan ia hanya menunggu, menunggu, dan menunggu, waktu bergulir dengan golakan hati dan kesabaran yang begitu teruji. Suatu saat nanti, ketika tiba saatnya ia dapat menentukan sendiri jalan hidupnya, ia akan mencari lagi cahaya yang dulu ditinggalkannya.

Itulah mengapa ia menamai dirinya, Sekeping Hati.

Jumat, 03 Januari 2014

Escape

Catatan Unknown pada 10:39 AM 0 komentar

Mataku tertuju pada sebuah sepatu teplek merah muda. Sepatu itu pastilah cocok dengan gamis hitamku yang bercorak bunga-bunga merah muda. Aku juga sudah membeli jilbab merah muda dan tas tangan senada sebagai paduannya. Rencanya akan kukenakan dalam pesta pernikahan teman karibku semenjak duduk di bangku menengah atas yang akan dilangsungkan dua minggu lagi.

Dengan sigap kuambil sepatu itu dan kucocokkan dengan kakiku. Sangat manis kelihatannya. Namun kuputuskan juga untuk meminta pendapat Darma, lelaki penggemar kemeja kotak-kotak disampingku. Dengan senyum ramahnya ia mengangguk setuju. Tanpa lebih lama lagi melihat yang lain aku segera membayar sepatu itu. 


Begitu keluar dari toko sepatu, kupandang ramainya kerumunan manusia di mall. Mataku melirik waspada pada orang-orang yang terlintas pandangan. Begitu juga mata Darma. Kami seperti dimata-matai sekaligus memata-matai. Seakan-akan ada golongan musuh yang harus kami hindari.

Berbelok ke arah kiri, kami berjalan dengan cepat. Aku melangkah setengah menunduk, wajahku harus terlindungi dari pantauan orang yang tidak boleh mengetahui keberadaanku. Darma dengan setia menarikku jika aku hampir menabrak siapa saja ketika berjalan.

Menuruni eskalator, mata kami melirik waspada pada orang-orang yang mencurigakan. Seakan-akan kami buronan, dimata-matai sekaligus memata-matai. Seakan-akan kami mengemban misi besar yang sangat rahasia, yang bermanifestasi pada kelangsungan kehidupan orang banyak. Maka kami harus selamat, menjaga agar keberadaan kami tidak terdeteksi orang banyak.

"Dorr!" suara menggemuruh tiba-tiba terdengar satu lantai diatas kami.

Keramaian mall tiba-tiba terusik, Orang-orang yang sebelumnya tenang berlalu-lalang mulai berlarian mencari tempat sembunyi. Wajah-wajah yang tadinya ceria berubah cemas penuh ketakutan.

Sekilas kupalingkan kepalaku kebelakang, sedikit menengadah mencari sumber sementara eskalator berjalan turun. Seorang pria rapi dengan kemeja hitam dan kaca mata hitam menembakkan pistol ke udara. Tapi. masalah lain dengan cepat muncul. Segerombolan suku kubu dengan celana cheers konvensional dan coretan pipi yang khas tiba-tiba mengguyuri pintu depan mall di lantai dimana eskalator kami menuju, baseman. 

Dengan sigap Darma menggenggap erat lenganku, membantuku lompat ke eskalator disebelahnya yang menuju keatas. Tas berisi sepatu merah jambuku jatuh. Sekilas teringat pesta temanku nanti, namun kubiarkan. Kali ini ada yang lebih penting untuk diselamatkan. Sepatu itu bisa dibeli lagi, toh jaraknya masih dua minggu.

Aku dan Darma berlari, berpacu dengan jalan eskalator, lalu berbelok ke arah yang berlainan dari pria rapi yang menambak ke udara tadi. Kami menyelip diantara kerumunan orang-orang ketakutan, sementara gerombolan suku kubu dengan panah dan tombak mengejak kami.

Darma membawaku memasuki lift yang kemudian melaju ke lantai sembilan, lantai paling atas. Lalu kami keluar dan menaiki tangga yang membawa kami ke atap. Sebuah pulpen hitam dikeluarkan Darma dari saku celana hitamnya. Dari mata pulpennya keluar untaian tali yang panjang. Ujung atas pulpen pun berubah menjadi pengait yang kuat. Tak mau kalah, kukeluarkan juga benda yang sama dari tas sampingku. Kami mulai beraksi, menuruni bagian belakang gedung dengan cepat. Aku sedikit terganggu dengan rok panjang yang kukenakan, namun bukan masalah berarti. Kecepatanku tak kalah dari Darma.

Tak sampai semenit, kami sampai di bawah. Darma menekan tombol klik di sisi pulpennya sehingga pengait hilang dan tali kembali masuk ke pulpen. Begitu juga aku. Kemudian kami lari, sekencang-kencangnya, sejauh-jauhnya. Menjauhi kejaran suku kubu dan panah-panah yang yang mulai dilemparkan dari atap gedung.

Dan aku, terbangun. Dua kali sudah mimpi aneh itu bertandang dalam tidurku. Pada kenyataanya, aku bahkan belum pernah ke mall itu, dan aku sama sekali tidak mengenal Darma. Apalagi misi yang kami emban yang membuat keselamatanku menjadi taruhan.

Masih separuh mengantuk, kuputuskan berdiri dari kasurku. Baru kusadar pakaianku masih sempurna menutupi auratku, aku pasti tertidur kelelahan setelah pulang dari kampus siang tadi. Kulirik jam, masih satu jam lagi sebelum azan ashar. Kuputuskan untuk membasuh muka, merapikan kembali pakaianku dan membeli roti di luar apartemen.

Baru saja kubuka pintu kamar apartemenku sedikit, aku dikejutkan oleh orang-orang kubu yang lalu lalang, seakan-akan mencari sesuatu. Segera kututup kembali, otakku tiba-tiba menyeruak agar aku menyelamatkan diri. Kuputar mataku, melihat apapun disekelilingku. Tanpa pikir panjang, kubuka jendela apartemenku, dan kupandang yakin sembilan lantai kebawah. Tidak ada Darma yang membantuku lari, tidak ada pulpen bertali yang menakjubkan. Ya, tidak ada apa-apa yang menjamin nyawaku.

Perlahan kututup mataku, kuyakinkan diriku. Semua itu tidak berarti, karena aku punya satu yang kuyakin lebih dari apapun, Allah. Ya, Allah, yang hidup matiku ada ditangannya. Sekarang, yang penting, aku melarikan diri, mengusahakan keselamatanku sekaligus menyelamatkan misi yang tak kumengerti.

Kamis, 02 Januari 2014

Lirik Lagu LENKA-Everything at once

Catatan Unknown pada 12:33 AM 0 komentar
Suka sama lagu Lenka yang ini...
aaaa...

As sly as a fox, as strong as an oxAs fast as a hare, as brave as a bearAs free as a bird, as neat as a wordAs quiet as a mouse, as big as a house
All I wanna be, all I wanna be, ohAll I wanna be is everything
As mean as a wolf, as sharp as a toothAs deep as a bite, as dark as the nightAs sweet as a song, as right as a wrongAs long as a road, as ugly as a toad
As pretty as a picture hanging from a fixtureStrong like a family, strong as I wanna beBright as day, as light as playAs hard as nails, as grand as a whale
All I wanna be oh, all I wanna be, ohAll I wanna be is everythingEverything at onceEverything at once, ohEverything at once
As warm as the sun, as silly as funAs cool as a tree, as scary as the seaAs hot as fire, cold as iceSweet as sugar and everything nice
As old as time, as straight as a lineAs royal as a queen, as buzzed as a beeAs stealth as a tiger, smooth as a gliderPure as a melody, pure as I wanna be
All I wanna be oh, all I wanna be, ohAll I wanna be is everythingEverything at once

Rabu, 01 Januari 2014

Cute Doll On The Bed

Catatan Unknown pada 10:56 AM 0 komentar


 

Se-kepinghati | Powered by Blogger
Blogged by Intan Evrt | Blogger Template by Se-kepinghati Corporation