“Dokter Ahmad Akbar Ali. Dia adalah seorang ahli bedah terkemuka. Aku pernah mendengar bahwa ia melakukan operasi plastik pada 5 korban kebakaran di daerah Sanggang beberapa bulan lalu.” Kata Zainudin setelah menghembuskan asap rokonya.
Ratih menyunggingkan sebelah bibirnya. Dahinya mengerinyit menandakan ia berpikir keras. Entah apa maksud lelaki didepannya ini sehingga tiba-tiba menyebutkan nama seorang dokter padanya.
“Kau tahu, Ratih? 5 orang yang dioperasinya saat itu dengan luka bakar parah diwajah mereka berhasil kembali pada bentuk asal. Dokter Ahmad hanya bermodal sebuah foto untuk melakukannya.” Lanjut Zainudin.
“Oh ya? Terus apa hubungannya dokter itu dengan warisan ayah tiriku?”
“Tidak ada yang tahu dimana Bunga kan? Kita telah membuang Bunga jauh. Hanya karena mayat gadis dungu anak kandung Profesor Abil itu belum ditemukan, Profesor Abil tidak bersedia mengganti nama ahli warisnya dengan namamu.”
Zainudin mengangkat rokoknya, mendekatkannya pada bibirnya, dengan nikmat menghisap rokok. Lalu kepulan asap keluar dari bibir dan hidungnya. Sementara itu Ratih memperhatikannya penuh penasaran, menunggu lanjutan kata-kata keluar dari mulutnya.
“Kita bisa minta pada dokter Ahmad untuk mengubah wajahmu menjadi seperti Bunga. Dengan begitu, kau akan tetap bisa menjadi ahli waris Profesor Abil. Toh kita sama-sama harus mengakui, wajah Bunga cukup cantik juga. Tak ada ruginya bagimu, kan?”
Ratih berpikir semakin keras. Matanya yang tajam kini memandang licik. Selama ini sudah cukup Bunga membuat kacau hidupnya. Mulai dari guru-guru homeschoolingmereka yang lebih mengunggulkan Bunga darinya, Arya, anak teman papa mereka yang lebih memilih Bunga daripada Ratih sebagai kekasih, dan kini, warisan. Saatnya Ratih menjadi Bunga, menikmati apa yang telah dikuasai Bunga dengan semena-mena. Tapi...
“Apa kau yakin dengan rencana ini, Zainudin? Aku menjadi Bunga dan akan terkurung dibalik wajahnya, wajah orang yang kubenci hampir selama hayatku.”
Zainudin tertawa lepas. Suaranya menggema ke seluruh ruang tamu. Perutnya yang buncit bergerak naik turun, sementara napasnya sedikit tersenggal. Semasa muda ia adalah supir pribadi Profesor Abil. Namun kini ia dipercaya mengurusi salah satu gudang perusahaan Profesor Abil.
“Dasar renta!” cemooh Ratih merasa keki melihat pria di depannya.
“Hei, papamu yang dungu itu jauh lebih renta dariku.” Zainudin kembali menghisap rokoknya. “Terserahlah, kau mau mengikuti rencanaku atau tidak. Ini tentang masa depanmu, bukan aku.”
Hari semakin sore. Ratih melirik jam tangannya. Sudah saatnya ia pulang. Ia bergegas berdiri, sementara Zainudin dengan acuh berkumul dengan rokoknya.
“Aku pulang dulu, kapan kau bisa mengantarku menemui dokter itu?” ujar Ratih sembari membenarkan letak tas dibahunya.
Tawa Zainudin semakin besar. Kali ini ia tertawa lama hingga membuat Ratih muak menunggu jawaban.
“Besok.” Jawab Zainudin. “Jemput aku jam sepuluh pagi.”
Tanpa banyak tanya lagi Ratih keluar dari rumah Zainudin, menghampiri mobilnya dan pergi. Dihatinya ada seberkan dengki akan Bunga, sekaligus rasa tak sabar menikmati hasil dari rencana hebat ini.
***
Cerita oleh Intan Ekaverta, projck TIM KIKI ^__^
0 komentar:
Posting Komentar