“Itu dia rumahnya. Sederhana memang, tapi kamu suka, kan???” Tante Ariana mendongakkan kepalanya keluar kaca mobil. Sementara Paman Dean menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah bercatkan putih mengkilap.
Kupandang rumah itu lekat sembari seorang pria jangkung setengah baya berkemeja hitam rapi menghampiri mobil. Tangan ringkihnya membukakan pintu jok kiri belakang mobil tepat disaping aku duduk sembari berkata, ”Selamat datang, Nona…”
Dengan pelan kuturunkan kakiku menginjak pasir yang berdesir setelah sekilas menatap mama yang mengangguk pasti padaku. Kutelusuri jalan menuju rumah aneh didepanku sambil menatap ke kiri dimana ombak sore pantai bersiul-siul menyambutku. Indah… namun, angin dingin tiba-tiba menyambarku, membuatku merasa dingin dan berusaha melupakan keindahan barusan. Kurapatkan dua sisi jaketku.
“Sebentar, nyonya,” lirih pria didepanku pelan seraya membuka kunci pintu. Pintu itu berwarna pasir berdaun dua. Tepat di bagian kanan atasnya tertra tulisan, SHELL COTTAGE.
“Shell Cottage?” balikku lirih menanyakan perihal tulisan itu.
“Ya, Shell Cottage, Nona. Itulah nama rumah ini. Sesuai dengan dekorasi rumahnya yang dipenuhi perabot kerang.” pria itu berhasil membuka pintu lebar dan perlahan melambaikan tangannya pertama-tama kearahku, lalu mengayunkannya ke dalam rumah itu, ”Silahkan, Nona!!!”
Kumasuki rumah itu dan kutatap dekorasinya yang unik. Penuh dengan perabot berbahan dasar kerang atau bermotif kerang, seperti gagang telepon dan sofa yang diselimuti kain bermotif kerang mutiara.
Kulangkahkan kakiku lebik dalam, tiba-tiba kakiku rasanya tak kuasa menopang berat badanku. Aku berpusing, nyaris jatuh jika saja tak berpegang pada ujung sofa yang lembut. Serentak mama dan Bibi Ariana menghampiriku, ”Shofia, kamu taka apa-apa?”
“Aku ingin istirahat,” jawabku singkat.
“Kamarmu diatas, ayo!” bibi Ariana menggenggam tanganku dan menopang punggungku membantuku menaiki tangga dengan karpet bermotif kerang dan pegangannya yang kasat seperti pasir pantai.
Bibi Ariana menunjuk sebuah tangga dari anak tangga paing atas. Kupercepat langkahku memasuki pintu itu lalu segera kututup sebeum Bibi Ariana menyusul masuk. Ia pasti mengerti bahwa ingin sendiri saat ini.
Kutatap kamar itu, tetap saja kerang, kerang, dan kerang. Lalu pandanganku tertuju pada sebuah cermin dengan bingkai tumpukan kerang. Kudekati cermin itu, kusentuh bingkai kasarnya dan kulihat wajahku yang menyedihkan didalamnya. Kulit dan bibir pucat, mata sayu, rambut tipis, dan pipi yang mengurus.
Lalu kulangkahkan kakiku ke jendela disebelahnya, jendela kayu yang ditepi-tepinya terdapat rangkaian kerang putih. Dari sana kunikmati pemandangan pantai yang indah. Pohon-pohon kelapa, kapal menepi, pasir putih yang bercahaya, ombak yang riuh, kerang dan kepiting, disertai angin yang membuatku dingin. Disinilah, aku merasa menyatu dengan Shell Cottage, tempat aku akan menghabiskan waktu bersama Paman Dean yang seorang dokter dan obat-obatannya yang hambar. Sambil terus bertanya, kapan aku mati dan mengakhiri leukemia yang merenggut umur enam belas tahunku.
0 komentar:
Posting Komentar