“Bagus… pertahankan, Hasbi! Kalau perlu sampai lulus kamu peringkat pertama terus.” puji papa seraya meneruskan makan siangnya.
Hasbi tersenyum bangga. Aku meliriknya sekilas dan kembali menatap kecut menu makan siangku. Kurasakan Mama melirik pasrah padaku merasakan kekecewaan yang seketika timbul dibenakku.
“Kamu Retha, peringkat keberapa?” Tanya papa, kali ini matanya tajam melihatku. Rasanya aku ingin yang mengambil raportku tadi pagi papa saja, bukan mama. Agar dia tak perlu bertanya lagi sebelum mulai membandingkanku dengan anak kesayangannya itu.
“Hmm… 17 dari empat puluh orang, pa…” jawabku lambat.
“Hmmm,” sikap meremahkan papa mulai keluar, “ngga malu kamu sama adik kamu?”
Aku terdiam. Selera makanku telah hilang sejak tadi papa mulai bicara. Hasbi sekilas ikut melirikku.
“Umur saja yang tua, tapi otak tidak berkambang. Papa ngga kaget dengar kalau kamu tidak tiga besar. Pikiran kamu cuma menggambar dan main. Lihat adik kamu, matematikanya tinggi, calon arsitek. Gambarnya juga tidak kalah bagus dengan kamu.” Ujar papa.
Hatiku tiba-tiba perih. Sementara Hasbi dan mama hanya diam. Di rumah ini memang tak ada yang dapat membelokkan kata-kata papa. Bagiku cukup sebagai dukungan ketika mama memperlihatkan raut simpati dan Hasbi mulai segan.
“Anak seperti kamu memang tak bisa diharapkan. Lebih baik berhenti saja kamu sekolah, bantu mamamu.” Sambung papa.
Aku semakin merunduk, menyembunyikan mataku yang mulai berkaca-kaca. Hal ini memang sudah sering dilontarkan papa, tapi masih saja aku perih mendengarnya. Andai papa tidak kerja di luar kota dan setiap malam melihatku yang berusaha keras untuk menjadi tiga besar. Hah, mengapa aku diciptakan sebagai gadis ber-IQ jongkok?
“Hasbi, sebagai hadiah, papa hari ini akan membelikan kamu motor. Ayo, setelah makan siap-siap! Ma, uang yang kemarin itu bawa kesini, ya!” ujar papa penuh semangat.
Hasbi terlihat girang.
“Pa, bukannya uang itu akan dibelikan biola untuk Retha? Untuk lomba minggu depan. Lagipula, sebulan yang lalu Hasbi sudah dibalikan laptop.” Mama heran.
“Hah, masa bodoh dengan biola. Apa manfaatnya? Kalau motor kan bisa dipakai untuk berangkat sekolah, Retha juga ikut menikmati manfaatnya, pasti Hisbi akan mengantarnya juga. Toh laptop itu juga sering dipakai Retha untuk mendengarkan musik tidak jelas.”
Mama menatapku sekilas, aku hanya tersenyum kecut, mengangguk. Aku tahu, mama juga sedih, namun terpaksa melakukan keinginan papa.
Ya, papa mana peduli dengan kemauanku. Padahal biola itu untuk mengikuti babak final lomba biola seprovinsi agar aku tak perlu meminjam lagi. Mana papa tahu yang kusisihkan hingga babak final adalah orang dewasa dan aku peserta termuda. Mana papa peduli sebelum-sebelumnya aku pernah memenangkan lomba tenis meja seprovinsi, lomba renang, lomba paduan suara, bahkan lomba nyanyi solo.
Bagi papa, itu bukan prestasi. Yang prestasi itu Hasbi. Ya, memiliki Hasbi. Memiliki anak laki-laki setelah empat anak perempuan. Apalagi ketiga kakakku telah menikah.
Dan setelah papa pegi bersama Hasbi, mama membelaiku. Air mataku membuncah dipeluknya.
***
Kembali kubayangkan proyek yang sedang aku jalankan sementara tanganku memutar stir mobil. Sekilas aku tersenyum bangga, mengingat sebelum aku pergi tadi rekan-rekanku memujiku berlebihan. Rancangaku sebagai arsitek muda dianggap suatu mahakarnya.
Ringtone handphoneku tiba-tiba berbunyi. Kuangkat, dari mama.
“Kenapa, ma?”
“Kamu dimana? Pertunjukan biola Hasbi sebentar lagi mulai, dia cemas kamu tidak datang.” Terdengar mama nyaris berteriak di sebrang sana.
“Iya, ma, aku bentar lagi sampai.”
Kututp handphone-ku, kufokuskan diriku pada jalan, kupercepat laju mobilku.
Ya, sejak hari itu semua berubah. Sejak air mataku membuncah dipeluk mama setelah mendengar kabar papa dan Hasbi kecelakaan ketika hendak membeli motor. Papa meninggal, sementara Hasbi sampai saat ini buta.
Lalu kuputuskan untuk tidak mengikuti babak final itu, aku gugur. Dan aku mulai focus pada cita-cita papa yang tidak kesampaian karena kurangnya biaya, arsitek. Saat itu pula aku mengajari Hasbi berbagai alat music. Kulatih ia dengan sabar sementara matanya tak dapat melihat.
Dan kini, satu cita-cita terbesarku, membuat Hasbi dapat melihat kembali, mengembalikan warna pelangi dalam hidupnya. Mengembalikan kebanggaan almarhum papa padanya, juga meraih kebanggaan itu untukku, karena aku pun pantas dibanggakan papa.