Malam telah larut, angin dingin mendekap pilu. Langit hitam semakin bergairah menebar deras hujan. pertir tak henti bersahutan menerjang riangnya nyanyian katak.
Jam dinding menunjukkan pukul 23.00. Sudah larut, kuhempaskan tubuhku ke kasur kapuk tipis yang setia menemani lelapku sejak dulu. Lalu kupejamkan mataku. Namun, sekilas terlintas dipikiranku seorang wanita setengah baya yang hidup penuh pengorbanan, ibu. Entah mengapa hatiku tiba-tiba memaksa agar aku melihat keadaannya. Tanpa piker panjang, kulangkahkan kakiku ke kamar ibu disebelah kamarku. Nihil, beliau tidak di kamarnnya.
Kemana ibu? Mengapa sudah selarut ini belum tidur juga? Mungkin ia mendapat pesanan jahitan yang banyak. Tapi, setahuku dari tadi aku tak mendengar ributnya mesin jahit di rumah kecil ini.
Kuputuskan memeriksa ruang jahitnya. Benar saja, ibu disana. Dan beliau tertidur pulas di kursi jahitnya, dengan kepala menopang pada meja mesin jahit. Melihat raut lelahnya, aku benar-benar tak tega membangunkannya. Kuambil sehelai kain di rak jahitnya, lallu kuselimuti punggungnya. Dengan harapan angin dingin tak menyentuh tubuh mulia itu. Lalu kulangkahkan kakiku ke kamar, agar aku pun dapat beristirahat.
Kuputuskan memeriksa ruang jahitnya. Benar saja, ibu disana. Dan beliau tertidur pulas di kursi jahitnya, dengan kepala menopang pada meja mesin jahit. Melihat raut lelahnya, aku benar-benar tak tega membangunkannya. Kuambil sehelai kain di rak jahitnya, lallu kuselimuti punggungnya. Dengan harapan angin dingin tak menyentuh tubuh mulia itu. Lalu kulangkahkan kakiku ke kamar, agar aku pun dapat beristirahat.
Malam berlalu, mentari datang menyongsong pagi. Aku telah siap dengan bauu putih abu-abu dan tas sekolahku. Sesuai kebiasaan yang telah ditanamkan ibu sejak kecil, aku pun melangkahkan kaki ke dapur, sarapan. Namun kali ini tak kutemukan apa-apa disana. Hanya tudung kosong. Apa ibu tidak memasak? Biasanya ibu selalu bangun terlalu pagi dan menyiapkan segalanya.
Kuputuskan memeriksa kembali ruang jahit. Terlihat rautnya yang mulai keriput masih pulas di depan mesin jahitnya. Mimipi apakah beliau sehingga begitu betah tidur dengan posisi seperti itu? Mungkinkah ia mimpi bertemu almarhum bapak yang ia rindukan? Lagi-lagi kuputuskan untuk tidak membangunkannya, lebih baik kali ini aku berangkat tanpa sarapan.
Dan tidak sarapan membuat perutku berteriak-teriak selama di sekolah, sementara aku harus berhemat. Kupaksakan agar diriku sabar menanti pulang.
Dan pukul 15.00, aku keluar dengan riang, segera menuju rumah, berharap makanan kesukaanku telah tersaji di meja. Namun, tidak ada apa-apa. Ibu tidak memasak lagi.
“Bu???” panggilku.
Tidak ada jawaban.
“Ibu…”
Tidak ada jawan.
Aku segera memeriksa ruang jahit. Ganjil sekali. Ibu masih disana, dengan posisi yang sama. Kali ini aku harus membangunkannya, tapi firasatku mulai buruk. Segera kusentuh bahunya, tangannya jatuh begitu saja, diikuti tubuhnya ambruk ke lantai. Lalu kusentuh kulitnya, dingin, dingin sekali.
Aku menggeleng, air mataku mulai turun, hatiku takut, sangat takut, namun kuberanikan mendekatkan jariku ke rongga hidungnya. Dan sehembus angin pun tak keluar, ia tak lagi bernapas.
Kini aku benar-benar menangis, meratap, tak kuasa kusaksikan tubuh itu kini kaku. Ia telah pergi, telah lepas dari deritanya di dunia. Namun, ia juga meninggalkanku sebatang kara di sini.